Senin, 19 September 2011

Mengendalikan Hawa Nafsu

Dikisahkan dalam satu riwayat, sekembalinya dari sebuah peperangan, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Kita baru saja pulang dari jihad/perang yang kecil menuju jihad yang besar. Sahabat bertanya, "Apakah perang yang besar itu wahai Rasulullah?"  Nabi menjawab, '' Perang menaklukkan diri sendiri/ hawa nafsu). (HR Baihaqi dari Jabir).
Tentu kita ingin menjadi orang-orang yang keluar sebagai pemenang dari pertarungan melawan hawa nafsu. Untuk itu kita perlu mengetahui dan melakukan beberapa hal.
Pertama: Mengetahui musuh utama kita, dan musuh utama kita adalah hawa nafsu. Dalam Al-Qur’an, kata hawa bermakna keinginan atau kecenderungan kepada sesuaatu yang buruk atau sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran,  karena hawa/keinginan itu selalu membuat manusia lalai dalam kehidupannya di dunia ini dan akibatnya akan menjerumuskannya ke dalam neraka.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, surat Al-Qoshos:50:
............ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya: " Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Kedua: Mengendalikan nafsu dengan menggunakan kekuatan dan kecerdasan akal. Akal tidak hanya merupakan alat berpikir, tetapi juga merupakan alat kontrol dan pengendali diri dari segala kecenderungan yang mengarah kepada perilaku yang tidak baik. Oleh sebab itu, akal dapat juga berfungsi sebagai pengendali diri dari memperturutkan hawa nafsu.
Ketiga: Melawan dan menolak kecenderungan nafsu, yakni tidak menuruti dan mengikuti keinginannyaya. Orang bijak mengatakan, kalau Anda ingin menemukan kebenaran, maka perhatikanlah keinginan dan kecenderungan Anda, kemudian ambillah sesuatu yang bertolak belakang dengan keinginan itu, Anda akan menempuh jalan yang benar.
Keempat: Menaklukkan nafsu dan menguasai sepenuhnya. Harus kita sadari bahwa perang dan pertarungan melawan hawa nafsu berlangsung setiap saat. Dalam pertarungan ini, kita bisa menang pada suatu ketika, tetapi bisa kalah pada waktu yang lain.
Namun, bagi orang-orang tertentu, yang terlatih dan mendapat pertolongan dari Allah, mereka akan mampu menaklukkannya dan dapat keluar sebagai pemenang. Mereka itulah yang dinamakan petarung sejati. Terhadap orang yang seperti ini, Allah SWT menjanjikan kemuliaan dan Surga.
Firman Allah dalam surat An-Nazi’at: 40-41.
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى .  فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Artinya: " Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).
Semoga kita termasuk orang-orang yang mampu mengandalikan hawa nafsu, terlebih-lebih setelah usai melaksanakan puasa Ramadhan 1432 H di tahun ini. Dengan demikian kita keluar sebagai pemenang, sebab kita telah mampu mengendalikan diri dan menjadi petarung sejati.

Rabu, 14 September 2011

Tujuan Halal Bihalal

Arah yang Dituju Halal Bihalal
Enam kali kata halal terulang di dalam Al-Qur’an. Dua di antaranya dalam konteks kecaman, sedangkan empat sisanya berkaitan dengan perintah “makan”, dan disifati oleh kata Thayyibah, yang berarti “baik” atau “menyenangkan”.
Kata “makan” merupakan lambang dari segala aktivitas manusia, begitu penggunaan Al-Qur’an, sehingga keempat ayat di atas, seakan-akan berpesan, “Lakukan segala aktivitasmu berdasarkan yang halal tetapi halal yang thayyibah (baik dan menyenangkan).
Memang, dalam ajaran agama, istilah halal mencakup empat hal, yaitu wajib, sunnah (dianjurkan), makruh (tidak disukai), dan mubah (boleh-boleh saja). Halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq (pemutusan hubungan suami-istri), demikian sabda Rasul. Kalau demikian, wajar jika yang dianjurkan oleh Al-Qur’an adalah “halal yang thayyib”.
Al-Qur’an menegaskan cinta Allah terhadap mereka yang memiliki sifat-sifat tertentu sebanyak 18 kali. Hanya sekali penegasan penegasan itu ditujukan kepada orang yang sabar, bertobat, dan menyusun satu barisan. Sementara itu, kepada orang yang bertawakkal dua kali dan kepada yang berlaku adil dan yang bertakwa tiga kali, tetapi diulanginya sebanyak lima kali terhadap mereka yang memiliki sifat ihsan – satu sifat yang menjadikan pemiliknya memperlakukan pihak lain dengan baik meskipun pihak lain itu memperlakukannya dengan buruk.
Ketika Mistah yang dibiayai hidupnya oleh Abu Bakar r.a, ikut menyebarluaskan gosip yang menyangkut kehormatan Aisyah, putri Abu Bakar r.a. dan sekaligus istri Nabi saw., Abu Bakar bersumpah untuk tidak membiayainya lagi. Tetapi Al-Qur’an melarang Abu Bakar sambil menganjurkan untuk melakukan Al-afwu dan Al-shafhu (QS 24:22).
Al-afwu yang kemudian diindonesiakan dengan “maaf”, berarti “menghapus” karena yang memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Sedangkan Al-shafhu berarti “kelapangan” dan darinya dapat dibentuk kata shafhat yang berarti “lembaran”, serta mushafahat yang berarti “berjabat tangan”. Seseorang yang melakukan Al-shafhu seperti anjuran ayat di atas, dituntut untuk melapangkan dadanya sehingga mampu menampung segala ketersinggungan serta dapat pula menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.
Al-shafhu yang digambarkan dalam bentuk berjabat tangan itu, tulis Al-Raghib Al-Isfahany, lebih tinggi nilainya daripada memaafkan. Bukankah masih mungkin ada satu-dua titik yang sulit bersih pada lembaran yang salah, walaupun kesalahannya telah dihapuskan?. Karenanya, bukalah lembaran baru, tutup lembaran lama, dan wujudkan sikap ihsan. Inilah hal-hal yang paling disukai Allah, dan karenanya pula para agamawan berpesan: “Jika ada yang memaki Anda, janganlah makiannya Anda balas, tapi berkatalah, “Jika makian Anda benar, saya bermohon semoga Allah mengampuniku; dan jika keliru, maka semoga Allah mengampuni Anda”.
Yang demikian itulah “halal yang thayyib” dan kesanalah arah yang seharusnya dituju oleh halal bihalal.
Sumber: Quraish Shihab - Lentera Hati.

Senin, 12 September 2011

Renungan Pasca Ramadhan

Hadirkan Selalu Ramadhan Dalam HidupMu
Ramadhan sudah berlalu meninggalkan kita, bagi orang-orang yang beriman tentunya merasa bersedih saat berpisah dengan bulan Ramadhan, sebab pada bulan Ramadhan banyak kesempatan untuk meraih ampunan Allah SWT., karena Nabi Muhammad memberikan kabar gembira terhadap orang-orang yang berpuasa dan beribadah pada bulan Ramadhan tersebut dengan ampunan Allah. Disisi lain pada bulan Ramadhan nilai-nilai ibadah yang dilaksanakan dilipatgandakan oleh Allah SWT.
Saat ini bulan Ramadhan sudah berlalu dari kehidupan kita, akankah umur yang tersisa ini akan sampai kepada bulan Ramadhan yang akan datang?. Tidak seorangpun yang dapat mengetahuinya. Lantas, apakah kesedihan yang dirasakan oleh orang-orang yang beriman dikarenakan berpisah dengan bulan Ramadhan tersebut berlalu begitu saja?. Sejatinya tidak……!
Seyogianya orang-orang yang beriman dapat melestarikan nilai-nilai ibadah yang dilakukan pada bulan Ramadhan, sebab hanya ibadah-ibadah tertentu yang hanya dapat dilakukan pada bulan Ramadhan. Seperti, puasa di siang hari Ramadhan, melaksanakan shalat Tarawih pada malam harinya. Adapun ibadah-ibadah lainnya seperti membaca Al-Qur’an, beri’tikaf di Masjid, bersedekah, shalat witir, berzikir dan ibadh-ibadah lainnya dapat dilakukan walau di luar bulan Ramadhan.
Karena itu, seorang muslim tidak boleh terpaku dalam melaksanakan ibadah-ibadah tersebut di bulan Ramadhan semata, namun hendaknya dapat dilakukan pada hari-hari yang dilalui setelah bulan Ramadhan. Dengan demikian, walau-pun Ramadhan sudah berlalu dari kehidupan kita, namun nilai-nilai ibadah yang kita lakukan selama perjalanan bulan Ramadhan tentu dapat kita lakukan pada bulan-bulan di luar Ramadhan.
Orang beriman boleh bersedih dengan ditinggalkan Ramadhan, namun demikian, ditengah kesedihan tersebut, bukan berarti setelah Ramadhan berlalu kita melepaskan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, Kalau selama ini kita sering menantikan kehadiran bulan Ramadhan, mengapa kita tidak "menjemput-nya”?
Bagaimana caranya?. Jangan hanya menunggu bulan Ramadhan berikutnya untuk melakukan amal ibadah, tetapi menjemput dalam bentuk melestarikan nilai-nilai yang terkandung pada bulan tersebut untuk dilaksanakan pada bulan-bulan yang lain, kecuali ibadah-ibadah yang hanya dapat dilaksanakan pada bulan Ramadhan.
Apabila sikap yang demikian dapat kita laksanakan, insya Allah hari-hari yang akan kita lalui dalam kehidupan ini tentunya dapat menjadi seperti bulan Ramadhan selamanya. Sebab itu, tepatlah apa yang ditulis oleh Dr. ’Aid Al-Qorni dengan kitabnya yang berjudul ”Ramadhan-kan Hidup-Mu”.
Semoga kita bisa me-Ramadhan-kan hidup pada hari-hari yang akan kita lalui.
امـِـيْــنَ يَـا رَبَّ الـْعـَالـَمِـيْـنَ