Sabtu, 31 Maret 2012

Merasakan Cinta Kepada Allah

MABUK DALAM CINTA TERHADAP ALLAH
Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahawa pada suatu hari Nabi Isa a.s berjalan di hadapan seorang pemuda yang sedang menyiram tumbuh-tumbuhan di kebun. Ketika pemuda itu melihat Nabi Isa a.s berada di hadapannya maka dia pun berkata, "Wahai Nabi Isa a.s, mintakanlah kepada Allah agar Dia memberi kepadaku seberat biji sawi saja agar aku cinta kepada-Nya."
Berkata Nabi Isa a.s, "Wahai saudaraku, kamu tidak akan mampu untuk mananggung cinta walau seberat itu."
Pemuda tadi berkata lagi, "Wahai Nabi Isa a.s, kalau aku tidak mampu seberat biji sawi, maka kamu mintalah untukku setengahnya saja."
Oleh kerana pemuda itu sangat berkeinginan untuk mendapatkan kecintaannya kepada Allah, maka Nabi Isa a.s pun berdoa, "Ya Tuhanku, berikanlah dia setengah berat biji sawi cintanya kepada-Mu." Setelah Nabi Isa a.s berdoa maka beliau pun berlalu dari situ.
Setelah beberapa lama Nabi Isa a.s datang lagi ke tempat pemuda yang memintanya untuk di doakan, tetapi Nabi Isa a.s tidak bertemu dengan pemuda itu. Maka Nabi Isa a.s pun bertanya kepada orang yang ada di sekitar tempat tersebut tentang keberadaan pemuda tersebut. Salah seorang diantara mereka mengatakan bahwa pemuda tersebut telah menjadi gila dan kini berada di atas gunung.
Setelah Nabi Isa a.s mendengar penjelasan orang-orang itu maka beliau pun berdoa kepada Allah S.W.T, "Wahai Tuhanku, tunjukkanlah kepadaku tentang keberadaan pemuda itu." Selesai berdoa Nabi Isa a.s pun dapat melihat pemuda itu yang berada di antara dua gunung dan sedang duduk di atas sebuah batu besar, matanya memandang ke langit.
Nabi Isa a.s pun menghampiri pemuda itu dengan memberi salam, tetapi pemuda itu tidak menjawab salam Nabi Isa a.s, lalu Nabi Isa berkata, "Aku ini Isa". Kemudian Allah S.W.T menurunkan wahyu kepada Nabi Isa a.s. "Wahai Isa, bagaimana dia dapat mendengar pembicaraan manusia, sebab dalam hatinya itu terdapat kadar setengah berat biji Sawi cintanya kepada-Ku. Demi Keagungan dan Keluhuran-Ku, kalau engkau memotongnya dengan gergaji sekalipun tentu dia tidak merasakannya”.
Subhanallah………….! Begitulah, apabila seseorang sudah merasakan cinta kepada Allah dia tidak merasakan kelezatan yang lain dari kehidupannya. Bisa saja manusia memandangnya sudah menjadi gila dan menghinakannya tapi ternyata dia mulia di sisi Allah. Karena itu, barangsiapa yang mengakui tiga perkara tetapi tidak menyucikan diri dari tiga perkara yang lain maka dia adalah orang yang tertipu.
1. Orang yang mengaku kemanisan berzikir kepada Allah, tetapi dia mencintai dunia.
2. Orang yang mengaku ikhlas dalam beramal, tetapi dia ingin mendapat sanjungan dari manusia.
3. Orang yang mengaku cinta kepada Allah yang menciptakannya, tetapi tidak mau merendahkan diri   kepadaNya.

Rasulullah S.A.W telah bersabda, "Akan datang waktunya dimana umatku akan mencintai lima hal tetapi lupa kepada lima hal :

1. Mereka cinta kepada dunia, tetapi lupa akan akhirat.
2. Mereka cinta kepada harta benda, tetapi lupa kepada hisab.
3. Mereka cinta kepada makhluk, tetapi lupa kepada sang Khaliq ( Allah S.W.T ).
4. Mereka cinta kepada dosa, tetapi lupa untuk bertaubat.
5. Mereka cinta kepada gedung-gedung mewah, tetapi mereka lupa kepada kubur.

Minggu, 25 Maret 2012

Meneladani Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW


Tiga Moral Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW
Krisis kepemimpinan saat ini sudah semakin terasa, sebab banyak pemimpin hari ini yang tidak lagi mampu merasakan suara hati rakyat yang dipimpinnya. Hal ini dikarenakan banyak pemimpin yang lebih banyak menuntut bukan memberi, lebih banyak menikmati bukan melayani, lebih banyak mengumbar janji bukan member bukti.

Dalam kajian politik islam seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya hendaklah ber-oreantasi untuk kemaslahatan atau kebaikan ummat, bukan untuk kemaslahatan diri dan kelompoknya semata. Sikap kepemimpinan seperti ini mengacu kepada moral kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang digambarkan Allah melalui firmanNya dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 128:

لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “ Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min “.

Dari makna ayat di atas dapat dipahami bahwa ada tiga landasan moral kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.

Pertama, “عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ “ Bahwa Nabi sebagai pemimpin senantiasa merasakan derita yang dirasakan oleh orang lain. Itu berarti Nabi sebagai pemimpin memiliki kepekaan terhadap kesulitan yang dirasakan oleh rakyatnya, karena itu dalam diri Nabi Muhammad timbul rasa empati dan simpati kepada pihak-pihak yang kurang beruntung.

Empati berarti kemampuan memahami dan merasakan kesulitan orang lain. Empati dengan sendirinya akan mendorong sikap simpati, buah dari sikap ini akan menimbulkan rasa ingin mencarikan solusi terhadap persoalan yang sedang dihadapi orang lain, ujungnya akan bermuara kepada bantuan, baik secara moral maupun material.

Kedua, “ حَرِيصٌ عَلَيْكُم “ Nabi Muhammad sangat  berkeinginan agar orang lain merasakan aman dan sentosa. Atau dengan ungkapan lain bahwa Nabi Muhammad memiliki semangat yang mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa meraih kemajuan. Buah dari sikap seperti ini adalah, bahwa Nabi Muhammad lebih megutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi dan keluarganya. Memang sebenarnya salah satu tugas pemimpin adalah menumbuhkan harapan dan menjalankan roda kepemimpinan menuju cita-cita dan harapan itu.

Ketiga, “رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ “ Rasul dalam kepemimpinannya menunjukkan sifat pengasih dan penyayang. Sikap seperti ini tidak hanya dirasakan oleh ummat yang beragama islam, tapi mereka-mereka yang di luar islam juga merasakan hal yang sama. Dengan demikian tidak heran kalau masyarakat yang dipimpinnya saat itu menunjukkan sikap yang patuh terhadap kepemimpinannya. Sebab Nabi Muhammad adalah seorang pemimpin yang kharismatik yang memiliki kearifan dan kebijaksanaan dalam memimpin ummat.
Tiga landasan moral ini adalah merupakan hal yang wajib untuk dimiliki oleh setiap pemimpin. Karena, tanpa ketiga moral ini, seorang pemimpin tidak akan bekerja untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan diri, keluarga, dan kelompoknya semata.

Semoga Pemimpin kita di Negeri ini menyadari hal ini untuk menuju kearah yang lebih positif dalam menjalankan kepemimpinannya.

امـِـيْــنَ يَـا رَبَّ الـْعـَالـَمِـيْـنَ




Sabtu, 24 Maret 2012

Dialog Seorang Murid Dengan Guru


Masih Adakah Yang Kita Banggakan?
Seorang Ulama’ yang zuhud ditanya seorang murid yang hatinya gelisah melihat perilaku kebanyakan ummat yang tidak lagi mementingkan nilai-nilai kemuliaan.
Sang murid: Tuan guru: Dengan kondisi kehidupan ummat yang sikap mentalnya sudah demikian parah, apakah masih ada yang dapat kita banggakan?
Ulama’: Ada, yaitu akal yang jernih.
Sang murid: Wah, sekarang sudah banyak orang yang akalnya tidak jernih lagi untuk berpikir. Kalau akal yang jernih sudah tidak ada lagi, apa masih ada yang lain guru?
Ulama: Ada, yaitu sopan santun yang terjaga.
Sang murid: Wah, sekarang orang juga sudah tidak lagi menjaga sopan santun tuan guru! Masih adakah selain yang dua itu tuan guru?
Ulama: Ada, yaitu Sahabat sejati.
Sang Murid: Waduh... sahabat sejati hari ini juga  susah didapat, karena orang tidak lagi membela yang benar tetapi membela yang bayar. Masih adakah selain yang tiga itu wahai tuan guru?
Ulama’: Ada, yaitu hati yang peka.
Sang Murid: Lagi-lagi yang itu juga jarang didapat guru, sekarang kebanyakan orang hatinya gelap, tidak peka, nuraninya mati, masih adakah yang dapat kita banggakan selain yang empat itu tuan guru?.
Ulama: Ada, yaitu banyak diam.
Sang Murid: Yah, yah, yah, diam itu emas gumam sang murid di dalam hati, sejenak kemudian diapun berkata lagi. Tapi tuan guru, sekarang ini, semuanya mau berbicara meski asal bicara, dan tidak ada orang yang mau diam untuk merenung. Kalau lima hal itu juga tidak punya, masih adakah yang dapat kita banggakan wahai tuan guru?
Ulama: Ada, dan ini adalah yang terakhir, yaitu “Hadirnya Kematian”. “Subhanallaaah”  keluar ucapan dari mulut sang murid, setelah itu dia terdiam, yang terdengar hanyalah desah napasnya sambil mengangguk-anggukkan kepala sebagai pertanda ia memahami apa yang dikemukan oleh Ulama tadi.
Semoga dialog di atas mampu menjadi I’tibar untuk kita jadikan renungan dalam usaha memperbaiki diri menuju nilai-nilai kebaikan.


Jumat, 23 Maret 2012

Tausiyah Untuk Kita Hari Ini



GAYA HIDUP ISLAMI DAN JAHILI
Dalam hidup ini umumnya manusia mencari dua hal, pertama kebaikan dan yang ke dua kebahagian. Namun masing-masing manusia mempunyai pandangan yang berbeda dalam memandang hakikat keduanya. Perbedaan inilah yang mendasari munculnya bermacam ragam gaya hidup manusia.
Dalam pandangan Islam gaya hidup tersebut dapat dikelompokkan kepada dua golongan, yaitu:
(1) Gaya hidup Islami.
(2) Gaya hidup jahili.
Gaya hidup Islami mempunyai landasan yang mutlak dan kuat, yaitu tauhid. Inilah gaya hidup orang yang beriman. Adapun gaya hidup jahili, landasannya bersifat relatif dan rapuh, yaitu syirik. Inilah gaya hidup orang-orang kafir.
Dari dua gaya hidup dimaksud maka setiap muslim wajib memilih gaya hidup Islami dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Hal ini sejalan dengan firman Allah berikut ini:
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Artinya: Katakanlah,“Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yusuf: 108).
Berdasarkan ayat tersebut jelaslah bahwa bergaya hidup Islami hukumnya wajib bagi setiap muslim, dan gaya hidup jahili adalah haram untuknya. Hanya saja dalam kenyataan justru membuat kita sangat prihatin, sebab justru gaya hidup jahili (yang diharamkan) itulah yang mencerminkan hidup sebagian umat Islam. Fenomena ini persis seperti yang pernah disinyalir oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam. Beliau bersabda, artinya:
Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku mengikuti jejak umat beberapa abad sebelumnya, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta”. Ada orang yang bertanya, “Ya Rasulullah, mengikuti orang Persia dan Romawi?” Jawab Beliau, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR.
Hadits tersebut menggambarkan suatu zaman di mana sebagian besar umat Islam telah kehilangan kepribadian Islamnya karena jiwa mereka telah terisi oleh  kepribadian yang lain. Mereka kehilangan gaya hidup yang hakiki karena telah mengadopsi gaya hidup jenis lain.
Kiranya tidak ada kehilangan yang patut ditangisi selain dari kehilangan kepribadian dan gaya hidup Islami. Sebab apalah artinya mengaku sebagai orang Islam kalau gaya hidup tidak lagi Islami, malah persis seperti orang kafir. Inilah bencana kepribadian yang paling besar.
Kita harus menyadari bahwa mengikuti gaya hidup orang lain yang tidak berlandaskan syari’at islam adalah merupakan hal yang tidak baik dan tercela dalam pandangan islam. Seperti cara berpakaian yang tidak menutup aurat, berperilaku yang tidak baik, mengikuti adat istiadat yang tidak sesuai dengan islam dan lain sebagainya. Ada ungkapan “ Barang siapa yang meniru-niru perilaku suatu kaum, berarti samalah mereka seperti kaum itu”.
Satu di antara berbagai bentuk tasyabbuh (meniru-niru orang lain) yang sudah membudaya dan mengakar di masyarakat kita adalah pakaian muslimah. Mungkin kita boleh bersenang hati bila melihat berbagai mode busana muslimah telah mulai bersaing dengan mode-mode busana jahili. Hanya saja masih sering kita menjumpai busana muslimah yang tidak memenuhi standar seperti yang dikehendaki syariat. Busana-busana itu masih mengadopsi mode ekspose aurat sebagai ciri pakaian jahiliyah. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah busana wanita pada umumnya, yang di Negara ini mayoritas beragama Islam tapi masyarakatnya lebih banyak yang belum menutup aurat ketimbang yang menutup aurat. Disisi lain ada yang sudah merasa menutup aurat dalam berpakaian tapi masih belum memenuhi standar yang sesuai dengan perintah agama, dimana cara berpakaiannya masih menonjolkan bentuk-bentuk tubuh yang kadang menggoda.
Saudaraku…………! Marilah kita takut pada ancaman Allah di akhirat kelak dalam masalah ini. Tentu kita tidak ingin ada dari keluarga kita yang disiksa di Neraka. Ingatlah, Rasulullah SAW pernah bersabda;
Artinya: “Dua golongan ahli Neraka yang aku belum melihat mereka (di masaku ini) yaitu suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, mereka memukuli manusia dengan cambuk itu. (Yang kedua ialah) kaum wanita yang berpakaian (tapi kenyataan-nya) telanjang (karena mengekspose aurat), jalannya berlenggak-lenggok (berpenampilan menggoda), kepala mereka seolah-olah punuk unta yang bergoyang. Mereka itu tak akan masuk Surga bahkan tak mendapatkan baunya, padahal baunya Surga itu tercium dari jarak sedemikian jauh”. (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, shahih).
Jika tasyabbuh dari aspek busana wanita saja sudah sangat memporak-porandakan kepribadian umat, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tinggal diam. Sebab banyak aspek gaya kehidupan ummat ini yang bertasyabbuh atau meniru-niru gaya kehidupan yang bukan islami. Karena itu mari kita renungkan dan amalkan ayat yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At-Tahrim: 6).
Semoga kita senantiasa diberi Allah hidayah untuk tetap memiliki gaya hidup yang islami dan terhindar dari gaya hidup jahili.
امـِـيْــنَ يَـا رَبَّ الـْعـَالـَمِـيْـنَ