Minggu, 26 Agustus 2012

Merayakan Idul Fitri

Tiga Pilar Merayakan Idul Fitri
Bagi ummat Islam yang telah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, tentu pantas merasa gembira di hari Raya Idul Fitri. Dan Idul Fitri itu sendiri adalah merupakan bentuk penghargaan yang diberikan Allah kepada kaum muslimin. Tentu penghargaan tersebut diberikan setelah ummat Islam berjuang selama bulan Ramadhan untuk melaksanakan puasa dalam upaya mengendalikan diri dari segala rayuan kehidupan dunia yang selalu menggiring manusia kepada perbuatan angkaramurka.
Setelah ummat Islam berada dalam ketaatan sepanjang bulan Ramadhan dan tetap konsisten menjalankan ibadah puasa dan berbuat taqwa kepada Allah, maka wajarlah kalau Allah berkenan memberikan penghargaan dalam bentuk Hari Raya Idul Fitri yang pialanya adalah maghfirah atau ampunan Allah. Melalui penghargaan tersebut, wajarlah kalau ummat Islam merayakannya dengan hati yang gembira dan bahagia, namun harus tetap dalam bingkai  taqwa.
Dalam merayakan Idul Fitri, sebagai hari kemenangan ini,  ada tiga pilar yang seharusnya tetap mewarnai kehidupan kaum Muslimin. Tiga pilar yang dimaksud adalah;
Pertama: Bersyukur kepada Allah atas karunia yang telah diberikanNya terutama Hidayah yang menyinari hati kita, sehingga kita dapat melaksanakan perintahnya untuk mencapai keridhaanNya.
Kedua: Ketaatan, sebab adanya penghargaan yang diberikan Allah adalah dikarenakan ummat Islam telah mengukir ketaatan yang mengantarkannya kepada kemuliaan di sisi Allah. Karenanya, kegembiraan yang mewarnai kehidupan ummat Islam pada suasana Idul Fitri ini tidak boleh menjadikannya lalai, apa lagi sampai merusak nilai-nilai kebaikan yang telah diraih. Sebab itu, mempertahankan nilai-nilai ketaqwaan setelah bulan Ramadhan adalah merupakan pilar yang tak boleh diabaikan.
Ketiga: Silaturrahmi, Rasul memerintahkan kita untuk menjalin Silaturrahmi, sebab dengan bersilaturrahmi dapat memperbarui sikap kasih sayang dan saling mencintai antar sesama. Islam sesungguhnya telah memberikan pengajaran untuk tetap menjalin Silaturrahmi melalui media harian, mingguan dan tahunan. Media yang dimaksud adalah melalui shalat berjamaah setiap hari, shalat Jumat setiap pekan, shalat Idul Fitri dan Idul Adha setiap tahun.
Namun, banyak yang enggan memanfaatkan kesempatan harian dan mingguan ini, malah sebaliknya menunggu-nunggu momentum hari raya yang datangnya hanya setahun sekali. Padahal, jika ummat Islam memanfaatkan kesempatan shalat berjamaah harian dan shalat Jumat mingguan, tentu tidak perlu menunggu momentum silaturahmi tahunan kepada sesamanya. Hal tersebut dipastikan akan lebih efektif dalam menghapus kesalahan dan dosa serta semakin menumbuhkan sikap saling percaya diri, kasih-sayang, persatuan dan kesatuan  di antara sesama.
Semoga tiga pilar ini ( bersyukur, bertaqwa dan bersilaturrahmi ), tetap mewarnai kehidupan kita yang tidak hanya sekedar di bulan syawal, tetapi pada bulan-bulan berikutnya hendaknya tetap terjalin dengan baik.

Sabtu, 25 Agustus 2012

Halal Bihalal

Arah Yang Dituju Halal Bihalal
Enam kali kata halal terulang dalam Al-Qur’an. Dua diantaranya dalam konteks kecaman, sedangkan empat sisanya berkaitan dengan perintah “makan”, dan disifati oleh kata thayyibah, yang berarti “baik” atau “menyenangkan”.
Kata “makan” merupakan lambang dari segala aktivitas manusia, begitu penggunaan Al-Qur’an, sehingga keempat ayat di atas, seakan-akan berpesan, “Lakukan segala aktivitasmu berdasarkan yang halal tetapi halal yang thayyibah (baik dan menyenangkan).”
Memang, dalam ajaran agama, istilah halal mencakup empat hal, yaitu wajib, sunnah (dianjurkan), makruh (tidak disukai), dan mubah (boleh-boleh saja). “Halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq (pemutusan hubungan)” demikian sabda Rasul. Kalau demikian, wajar jika yang dianjurkan oleh Al-Qur’an adalah halal yang thayyib.
Al-Qur’an menegaskan cinta Allah terhadap mereka yang memiliki sifat-sifat tertentu sebanyak 18 kali. Hanya sekali penegasan itu ditujukan kepada orang-orang yang sabar, bertobat, dan menyusun satu barisan. Sementara itu, kepada orang yang bertawakkal dua kali dan kepada yang berlaku adil dan yang yang bertaqwa tiga kali, tetapi diulanginya sebanyak lima kali kepada mereka yang bersifat ihsan – satu sifat yang menjadikan pemiliknya memperlakukan pihak lain dengan baik meskipun pihak lain itu memperlakukannya dengan buruk.
Ketika mistah yang dibiayai hidupnya oleh Abu Bakar r.a, ikut menyebarluaskan gosip yang menyangkut kehormatan Aisyah, putri Abu Bakar r.a. dan sekaligus istri Nabi saw., abu Bakar bersumpah untuk tidak membiayainya lagi. Tetapi Al-Qur’an melarang Abu Bakar sambil menganjurkan untuk melakukan al-afwu dan as-shafhu (QS.24:22).
Al-afwu yang kemudian diindonesiakan dengan “maaf”, berarti “menghapus” karena yang memaafkan menghapus berkas-berkas luka di hatinya. Sedangkan as-shafhu  berarti “kelapangan” dan darinya dapat dibentuk kata shafhat yang berarti “lembaran” atau “halaman”, serta mushafahat yang berarti “berjabat tangan”. Seorang yang melakukan as-shafhu, seperti anjuran ayat di atas, dituntut untuk melapangkan dadanya sehingga mampu menampung segala ketersinggungan serta dapat pula menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.
As-shafhu yang digambarkan dalam bentuk berjabat tangan itu, tulis Al-Raghib Al-Isfahany, “lebih tinggi nilainya daripada memaafkan”. Bukankan masih ada satu dua titik yang sulit bersih pada lembaran yang salah, walaupun kesalahannya telah dihapuskan? Karenanya, bukalah lembaran baru, tutup lembaran lama, dan wujudkan sikap ihsan. Inilah hal yang disukai Allah, dan karenanya pula para agamawan berpesan: “Jika ada yang memaki Anda, janganlah makiannya Anda balas, tapi berkatalah, “Jika makian Anda benar, saya bermohon semoga Allah mengampuniku, dan jika keliru, maka semoga Allah mengampuni Anda”.
Yang demikian itulah “halal yang thayyib” dan kesanalah arah yang seharusnya dituju oleh Halal Bihalal.
“Lentera Hati “ M. Quraish Shihab.

Jumat, 24 Agustus 2012

Keshalihan Individu Dan Keshalihan Sosial


Halal Bihalal; Antara Keshalihan Individu Dan Keshalihan Sosial
Idul Fitri diambil dari bahasa arab yang diartikan kembali kepada fitrah atau kepada kesucian. Seolah-olah ummat islam yang benar-benar melakukan ibadah pada bulan Ramadhan seperti dilahirkan kembali, tanpa dosa dan seperti secarik kertas yang belum bertuliskan sesuatu.
Budaya saling mema’afkan di bulan syawal ini lebih populer dengat sebutan kata “Halal Bihalal”. Fenomena ini adalah fenomena yang menjadi tradisi di negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah bagian dari refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang.
Dalam pengertian yang umum, “Halal Bihalal”adalah acara berma’af-mema’afan pada hari Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil mengendalikan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa dan beramal ibadah selama bulan Ramadhan yang dilandasi dengan iman kepada Allah SWT.
Aktivitas selama bulan Ramadhan selalu mendorong seorang hamba untuk melakukan ibadah. Ibadah yang dimaksud tidak hanya dilakukan secara vertikal kepada sang Khalik. Tetapi, Umat Islam juga dididik untuk selalu beribadah secara horizontal dengan melakukan nilai-nilai kebaikan kepada sesama manusia. Karena itu, selama Ramadhan, Umat Islam dilatih untuk selalu menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Ramadan penuh dengan pesan etika keshalehan sosial yang sangat tinggi, seperti pengendalian diri, disiplin, kejujuran, kesabaran, solidaritas sosial dan saling tolong-menolong. Ini merupakan sebuah potret yang mengarah kepada eratnya keshalihan individu dengan keshalihan sosial.
Dalam hal keshalihan sosial ini, ada baiknya kita menulusuri kembali tentang kisah yang terjadi pada masa kehalifahan Umar Bin Khattab.
Dikisahkan………………..! Pada suatu malam, Umar mengajak pembantunya berkeliling kota. Semua rumah gelap menandakan penghuninya sudah tidur. Ada satu rumah yang pintunya masih terbuka sedikit, karena tertarik, Umar mendatanginya. Ternyata ada tangisan seorang anak yang suaranya hampir habis karena kelelahan.
Mengapa anak itu menangis terus, apakah dia sakit? Tanya Umar Bin Khattab. Ibu anak itu menjawab, “Tidak, dia menangis karena kelaparan.” Karena tidak ada sedikit makananpun yang dapat kami santap.
Umar melihat di dalam ada tungku yang menyala, di atasnya ada kuali yang menandakan si ibu sedang memasak.  Apa yang sedang ibu masak? Tanya Umar kembali. Si ibu mempersilahkan tamu yang tak dikenalnya itu untuk melihat sendiri apa isinya.
Betapa terpananya Umar ketika melihat isi kuali itu adalah batu. “Mengapa ibu merebus batu?” Tanya Umar.
Ibu itu menjawab, “Supaya anak saya melihat ibunya sedang memasak dan saya berharap menunggu-nunggu masakan saya selesai dia bisa berhenti menangis dan tertidur. Itu yang dapat saya lakukan tuan.”
Umar terharu mendengarnya. Matanya tertunduk dan berkaca-kaca sebagai pertanda umar menangis karena menyadari kelalaiannya sebagai pemimpin.
Saat itu pembantu Umar mengatakan, “Apakah ibu tidak tahu di Madinah ada Amirul Mukminin tempat ibu dapat mengadukan keadaan ibu untuk mendapatkan pertolongannya?”
Langsung Ibu itu menjawab, “Andai di kota ini ada seorang Khalifah, maka dialah yang seharusnya datang kepada kami untuk melihat nasib kami, rakyatnya yang kelaparan.”
Mendengar ucapan itu Umar Bin Khattab langsung lemas dan bergegas pergi mengajak pembantunya mengambil sekarung gandum. Umar pun memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya yang sedang kelaparan.
Kisah itu menggambarkan betapa kokohnya kehidupan spiritual seorang pemimpin yang bernama Umar Bin Khattab. Dan sikap hidup rakyat jelata yang miskin tetapi memelihara prinsip untuk menjaga kehormatan dirinya dari sikap meminta-minta. Di sisi lain, ada kekuatan spiritual seorang pemimpin yang menyadari dan menyesali kelalaiannya dalam melayani rakyatnya.
Sebagai umat Islam yang hidup di zaman modern, kita berharap agar nilai-nilai yang dicontohkan Khalifah Umar Bin Khattab dapat dijalankan oleh para pemimpin di negeri Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Kita juga berharap, siapapun yang menjadi pemimpin umat, dapat memberikan pelayanan kepada rakyat, khususnya rakyat yang tengah dilanda kesusahan dan kelaparan. Dengan berpuasa, kita berharap dapat meningkatkan rasa kepekaan terhadap kondisi social dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Sebagai manifestasi dari keshalehan individu dan sosial, ibadah puasa dipandang menjadi sangat penting ketika hikmah pelaksanaan puasa itu mampu menciptakan kondisi kondusif untuk terjadinya perubahan demi terciptanya masyarakat yang toleran, dinamis dan beradab. Dan, orang yang mampu menciptakan masyarakat seperti itu tentu kepribadiannya sudah mendekati ambang batas puasa yang ideal.
Nilai-nilai kemanusiaan yang tercipta selama bulan Ramadhan, tentu merupakan bukti alangkah besarnya kepedulian Allah terhadap problematika sosial. Allah tidak hanya peduli terhadap keshalihan individu, tapi juga kepada keshalihan sosial, sehingga Allah dan nabiNya menggantungkan keabsahan keshalihan individu kepada keshalihan sosial. Maka tidaklah mengherankan apabila diakhir pelaksanaan ibadah puasa ummat islam diperintahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah sebagai pembuktian bahwa kepedulian sosial sudah terbentuk di hati ummat melalui hikmah ibadah puasa. Kemudian diharapkan hal ini tidak hanya berlangsung pada bulan Ramadhan belaka tetapi hendaknya sebelas bulan ke depan suasana seperti ini tetap mewarnai kehidupan ummat.
امـِـيْــنَ يَـا رَبَّ الـْعـَالـَمِـيْـنَ

Kamis, 23 Agustus 2012

Halal Bihalal


Makna Halal Bihalal
Halal bihalal, adalah dua rangkaian kata yang sering diucapkan dalam suasana Idul Fitri, dan istilah Halal bihalal ini adalah merupakan satu dari istilah “ keagamaan” yang hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia. Istilah tersebut seringkali menimbulkan tanda tanya tentang maknanya, bahkan dari segi bahasa, walaupun semua pihak menyadari bahwa tujuannya adalah menciptakan keharmonisan antara sesama.
Paling tidak ada dua makna yang dapat dipahami menyangkut pengertian istilah tersebut, yang ditinjau dari dua pandangan, yaitu:
Pertama, bertitik tolak dari pandangan hukum Islam.
Kedua, berpijak pada arti kebahasaan.
Ditinjau dari segi hukum, kata halal biasanya dihadapkan dengan kata haram. Haram adalah sesuatu yang terlarang untuk melakukannya, dan bagi pelakunya dapat mengakibatkan dosa serta mengandung ancaman akan mendapatkan siksa. Sementara Halal adalah sesuatu yang dibolehkan untuk melakukannya dan tidak mengandung dosa. Jika demikian, halal bihalal adalah menjadikan sikap kita terhadap pihak lain yang tadinya haram dan berakibat dosa, menjadi halal dengan jalan meminta maa’af.
Pengertian seperti yang dikemukakan di atas pada hakikatnya belum menunjang tujuan keharmonisan hubungan, karena dalam hal yang halal terdapat sesuatu yang dinamakan makruh atau yang tidak disenangi dan sebaiknya perbuatan yang makruh tidak dikerjakan. Misalnya perceraian, kendatipun merupakan perbuatan yang halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT. Atas dasar itu, istilah Halal bihalal sebaiknya tidak dikaitkan dengan pengertian hukum.
Adapun menurut pandangan kedua adalah dari segi bahasa, akar kata halal yang kemudian membentuk berbagai bentukan kata, mempunyai makna yang beraneka ragam, sesuai dengan bentuk dan rangkaian kata berikutnya. Makna-makna yang tercipta dari bentukan kata tersebut, antara lain adalah: “ menyelesaikan problem “, “ meluruskan benang kusut “, “ melepaskan ikatan “, dan “ mencairkan yang beku”.
Jika demikian, Ber-halal bihalal adalah merupakan suatu bentuk aktivitas yang mengantarkan para pelakunya untuk meluruskan benang yang kusut, menghangatkan hubungan yang tadinya membeku sehingga cair kembali, melepaskan ikatan yang membelenggu serta menyelesaikan kesulitan dan problem yang menghadang untuk terjalinnya keharmonisan hubungan.
Mungkin selama ini terjadi hubungan yang tadinya dingin, keruh, dan kusut disebabkan karena kita lama tidak berkunjung kepada seseorang, atau ada sikap yang kita ambil namun menyakitkan hati orang lain, atau timbul keretakan hubungan dari kesalahpahaman akibat ucapan dan lirikan mata yang tidak disengaja, kesemuanya ini perlu diselesaikan secara baik. Karena itu, yang beku perlu dihangatkan kembali, yang kusut hendaknya diluruskan kembali, dan yang mengikat dilepaskan dari simpulan. Itulah makna serta substansi Halal bihalal.
Semakin banyak dan sering kita mengulurkan tangan untuk memohon kema’afan dari orang yang kita bersalah kepadanya, dan semakin sering kita melapangkan dada untuk memberikan ma’af kepada orang yang mungkin bersalah kepada kita, maka semakin dalam pula penghayatan dan pengamalan kita terhadap hakikat Halal bihalal. Bentuknya kelihatannya memang khas Indonesia, namun hakikatnya adalah ajaran Islam.