Kamis, 16 Agustus 2012

Materi Khutbah 'Idul Fitri Tahun 1433 H


Memaknai Idul Fitri Di Tengah Dinamika Kehidupan
( Drs. H. Khairul Akmal Rangkuti )

اَلـسَّـلاَمُ عَـلـَيْـكـُمْ وَرَحْـمَـة ُ اللهِ وَبَـرَ كـَـاتـُـهُ                                            
اَللهُ اَ كـْـبَــرُ     اَللهُ اَ كـْـبَــرُ     اَللهُ اَ كـْـبَــرُ
َللهُ اَ كـْـبَــرُ     اَللهُ اَ كـْـبَــرُ     اَللهُ اَ كـْـبَــرُ    
َللهُ اَ كـْـبَــرُ     اَللهُ اَ كـْـبَــرُ     اَللهُ اَ كـْـبَــرُ         
 لا َ اِ لـهَ اِ لاَّ اللهُ  وَ اَللهُ اَ كـْـبَــرُ   اَللهُ اَ كـْـبَــرُ وَ ِللهِ ا ْلـحَـمْـدُ.                    
 َا ْلـحَـمْـدُ ِللهِ ا لـَّـذِيْ جَـعَـلَ هــذ َا ا لـْـيَـوْمَ  عِـيْـدًا ِللـْمُـؤْمِـنِـيـْـنَ  وَخـَـتــَـمَ بــِــه شـَـهْــرَ ا لـصِّــيـَـامَ  ِللـْـمـُخْـلِـصِـيْـنَ, اَشـْهـَـدُ اَ نْ لا َ اِ لـهَ اِ لاَّ اللهُ ا لـْمَـلِـكُ الـْحَـقُّ ا لـْمُـبـِـيْـنُ ٠ وَ اَشـْهـَـدُ اَ نَّ مُـحَـمَّـدًا عَـبْـدُه وَرَسُـوْ لُـهُ اْ لاَمِـيْـنُ ٠ اَ للـّــهُــمَّ صَـِلّ وَسَـلِـّـمْ عَـلى سَـيـِّـدِنـَـا مَــحَـمَّــدٍ وَّعَـلى اَلِـه وَ اَ صْـحَـابــِــه  اَجْــمَـعِــيْـنَ٠ اَ مّّــا بَــعْــدُ فـَـيَــا عـِـبـَــا دَ اللهِ  اِ تـَّــقـُـوااللهَ.                         
قـَالَ اللهُ تـَـعَالـى فِـى ا لـْـقـُرْ آ ن ا لـْـكـَــِريـْــمِ : وَ لـِـتـُـكْــمِــلـُـوا ا لـْـعِــدَّ ةَ َ وَلـِـتـُـكـَـبـِّــرُوا اللهَ عَـلى مَـاهـَـدَاكـُـمْ وَ لـَـعَــلـَّـكـُـمْ تَـَـشـْـكـُـرُوْنَ.                   
Kaum Muslimin jama’ah shalat Id yang dimuliakan Allah...........!
Ramadhan sebagai tamu agung itu telah berlalu meninggalkan kita, secara perlahan dan berangsur ia meninggalkan kita. Puncaknya adalah saat matahari kemarin sore cahayanya redup dan terbrnam di ufuk barat, ikut hilang dalam pekatnya kegelapan malam, saat itulah Ramadhan benar-benar meninggalkan kita.
Bagi orang-orang yang menyambut kehadiran Ramadhan dengan sukacita dan melayaninya dengan peningkatan ibadah, tentu membawa kesan yang terindah dalam hidupnya. Karena itu, wajarlah kalau orang-orang yang beriman merasa bersedih saat berpisah dengan bulan Ramadhan, sebab dia tidak mengetahui apakah Ramadhan tahun yang akan datang masih bisa berjumpa atau tidak.
Hari ini di hati orang-orang yang beriman tentu berbaur antara rasa sedih dan gembira. Sedih karena Ramadhan sebagai tamu yang mulia sudah berlalu dari kehidupannya. Seolah-olah dia meninggalkan pesan; Selamat tinggal hamba-hamba Allah yang beriman. Tahun depan aku akan datang kembali walaupun kalian belum tentu ada dalam kehadiranku nanti. Kalau diibaratkan Ramadhan itu manusia, dapatkah kita merasakan lambaian tangan dan senyum indahnya saat ia bergegas meninggalkan kita?. Adakah kesan yang baik kita berikan kepadanya?. Kita layanikah dia selama menjadi tamu kita? Kenangan indahkah yang dia bawa pergi atau kenangan yang buruk?. Tentu, hal seperti ini yang dirasakan pilu manakala mengenang perpisahan dengan tamu agung yang penuh dengan kemuliaan.
Kaum Muslimin jama’ah shalat Id yang saya muliakan...........!
Di sisi lain, hari ini kita  tentu merasa gembira, karena kita telah usai melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan pada bulan Ramadhan. Rasa gembira itu tentu lebih dirasakan oleh orang-orang yang benar-benar melaksanakan amal ibadah pada bulan Ramadhan tersebut. Sebab, hari ini adalah merupakan hari kemenangan setelah selama satu bulan kita berjuang melatih diri untuk mengendalikan hawa nafsu dalam melaksanakan ibadah puasa.
Pada pagi hari yang khidmat berselimutkan rahmat dan kebahagiaan ini, pantas dan wajar kalau kita bersyukur kehadirat Allah atas segala curahan rahmat dan nikmatNya kepada kita, sehingga kita dapat melaksanakan shalat Idul fitri di tempat yang berbahagia ini.
Alunan takbir, tahmid, taqdis dan tahlil berkumandang sebagai tanda membesarkan dan mengagungkan asma Allah SWT. Alunan takbir yang dikumandangkan lebih dari satu setengah milyar ummat manusia di muka bumi ini, membahana di setiap sudut kehidupan, baik di Masjid- Masjid, di Lapangan, di Surau, di Kota maupun di Desa, dan di seluruh negeri yang terdapat umat Islam. Bahkan di daerah-daerah yang sedang mendapatkan cobaan besar dari Allah SWT, seperti saudara-saudara kita umat Islam yang ada di Rohingya - Myanmar, ummat Islam di Palestina dan di berbagai tempat lainnya.
Kalimat takbir itu juga kita kumandangkan di sini, di bumi tempat kita bersujud dan bersimpuh ini untuk menghadapkan wajah kepada Allah SWT. Iramanya memenuhi ruang antara langit dan bumi, yang dapat menggetarkan Qolbu, terutama bagi orang-orang yang beriman kepada Allah.
Kumandang takbir dan tahmid itu sesungguhnya adalah wujud kemenangan dan rasa syukur kaum muslimin kepada Allah SWT atas keberhasilannya meraih fitrah atau kesuciannya kembali melalui perjuangan lahir dan bathin lewat pelaksanaan ibadah puasa dan segenap rangkaian ibadah yang dilaksanakan selama bulan Ramadhan.
Allah SWT menegaskan melalui firmannya dalam Al-Qur’an, surat Al-Baqoroh: 185:
.................... وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
Artinya : “……dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah..................!
Islam sesungguhnya telah mengajarkan takbir kepada umatnya, agar manusia senantiasa mengagungkan asma’ Allah kapanpun dan di manapun.
الله اكبر    الله اكبر    الله اكبر    ولله الحمد
Dalam suasana hari kemenangan ini, marilah kita menghayati kembali makna kefitrahan kita, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah Allah di muka bumi. Idul fitri yang dimaknai kembali kepada kesucian rohani, sesungguhnya mengisyaratkan bahwa setiap orang yang merayakan Idul Fitri berarti dia sedang merayakan kesucian rohaninya, dia sedang menikmati sikap keberagamaan yang benar lagi diridhai Allah SWT. Di sinilah seungguhnya letak keagungan dan kebesaran hari raya Idul Fitri, hari di mana para hamba Allah merayakan keberhasilannya mengembalikan kesucian diri dari segala dosa melalui pelaksanaan amal shaleh dan ibadah puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana disabdakan oleh Rasul saw :
: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ {رواه مسلم}
Artinya : “Siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan yang dilandasi dengan keimanan dan dilaksanakan dengan benar, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim).
Namun perlu disadari, bahwa melalui ibadah puasa dan ibadah lainnya yang dilaksanakan selama bulan Ramadhan itu,  hanyalah mampu menghapus dosa-dosa kita kepada Allah, sementara dosa kepada sesama manusia Allah tidak akan mengintervensinya, dosa kita kepada sesama manusia baru akan terampuni apabila antara sesama manusia itu saling memaafkan. Karena itu, sewajarnyalah momentum Idul Fitri ini kita jadikan sebagai satu kesempatan untuk saling mema’afkan. Sebab, dalam hidup ini tentu ada khilaf dan salah yang pernah kita lakukan. Mungkin salah mata dalam memandang, salah lidah dalam bertutur kata, salah tingkah dalam ber-prilaku, semua itu harus kita tebus dengan mendapatkan kata ma’af dari orang yang kita bersalah kepadanya. Karena itu, buanglah rasa dendam di hati, sirnakan keangkuhan dan kesombongan, jauhkan diri dari kecongkakan, ganti semua itu dengan pintu ma’af dan senyum sapa yang tulus, penuh dengan tali asih dan kehangatan silaturrahmi antar sesama.
الله اكبر    الله اكبر    الله اكبر    ولله الحمد
Kaum Muslimin yang mulia..................!
Kehidupan seperti inilah sesungguhnya kehidupan yang damai, kemanapun kita melangkah tiada musuh dan lawan, tiada rasa gundah di hati, tiada resah dan gelisah, tiada duka nestapa dan tiada rasa takut dan khawatir. Tetapi yang ada adalah teman seiring dan sejalan yang mendatangkan ketenangan dan kedamaian. Apabila dosa-dosa kita telah mendapat ampunan Allah lewat ibadah dan istighfar yang kita lakukan, demikian pula dosa-dosa kita kepada sesama manusia telah memperoleh kema’afan, maka sesungguhnya diri kita benar-benar kembali kepada fitrah atau kembali suci.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qu’an, surat Fathir; 18 - 21:
وَمَن تَزَكَّى فَإِنَّمَا يَتَزَكَّى لِنَفْسِهِ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ ﴿١٨﴾ وَمَا يَسْتَوِي الأعْمَى وَالْبَصِيرُ ﴿١٩﴾ وَلا الظُّلُمَاتُ وَلا النُّورُ ﴿٢٠﴾ وَلا الظِّلُّ وَلا الْحَرُورُ ﴿٢١﴾
Artinya: ........Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu).019. Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat.020. dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya.021. dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas.
Pada ayat tersebut, Allah SWT membandingkan antara orang yang mampu mensucikan jiwanya dengan yang suka mengotorinya, laksana orang yang melihat dengan orang yang buta, laksana terang dan gelap, laksana teduh dan panas. Sungguh sebuah metafora yang patut kita renungkan. Allah seolah hendak menyatakan bahwa manusia yang suci, manusia yang baik, manusia yang menang dan beruntung itu adalah mereka yang mau dan mampu melihat persoalan lingkungannya secara bijak, dan kemudian bersedia menyelesaikannya, mereka yang mampu menjadi lentera di kala gelap, menjadi payung untuk berteduh di kala panas dan hujan. Mereka inilah pemilik agama yang benar, agama yang hanif dan suci, terbuka, toleran, pemaaf dan santun. Inilah agama tauhid.
الله اكبر    الله اكبر    الله اكبر    ولله الحمد
Idul Fitri pada hakikatnya memberikan pesan kepada kita, bahwa syari’at Islam mengajarkan kepada kesucian, keindahan, kebersamaan dan mengarahkan ummatnya agar memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Rukun dalam kebersamaan dan bersama dalam kerukunan.
Segala kelebihan yang melekat dalam diri manusia dalam bentuk apapun, hendaknya disadari bahwa selain merupakan nikmat, ia juga sekaligus sebagai amanat. Merupakan nikmat agar senantiasa disyukuri, dan sebagai amanat supaya digunakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Hal yang demikian karena fitrah pada hakikatnya adalah gabungan dari tiga unsur kehidupan sekaligus, yakni (1) keindahan, (2) kebaikan, (3) kebenaran. Seseorang yang ber-‘Idul fitri berarti telah mampu mengembalikan fitrahnya, sehingga dapat berbuat yang indah, baik dan benar.
Perbutan yang indah akan melahirkan seni dan estetika, seni akan menghasilkan kreatifitas yang membangun dan menyejukkan. Perbuatan baik akan menimbulkan etika dan menciptakan tatanan kehidupan yang tertib dan harmonis. Sementara kebenaran akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang mengantarkan kemajuan peradaban ummat manusia. Karenanya, perubahan ke arah yang lebih baik hanya dapat diwujudkan oleh pribadi-pribadi yang dalam dirinya telah bersemi kefitrahan.
الله اكبر    الله اكبر    الله اكبر    ولله الحمد
Hadirin yang dimuliakan Allah..........!
Namun demikian perlu kita sadari bahwa kesucian manusia dapat berubah dari waktu ke waktu, bisa dikarenakan pengaruh pergaulan, pengaruh budaya dan lingkungan, karena latar belakang pendidikan dan faktor-faktor lainnya. Maka, agar fitrah itu tetap terpelihara kesuciannya, hendaknya kita selalu mengacu kepada pola kehidupan Islami yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta teladan dari para Ulama’.
Pola kehidupan yang bersendikan nilai-nilai agama dan akhlak mulia, diharapkan mampu membangun manusia seutuhnya, yang memiliki keutuhan iman, keluasan ilmu pengetahuan serta tangguh dalam menghadapi berbagai peluang dan tantangan kehidupan.
Karena itu, segala kebiasaan baik yang telah kita lakukan di bulan Ramadhan, baik ibadah puasa, tarawih, membaca dan memahami Al-Qur’an, peduli kepada kaum dhu’afa, mengendalikan amarah dan hawa nafsu, menjaga kejujuran, hendaknya tetap kita lestarikan, bahkan kita tingkatkan sedemikian rupa agar dapat menjadi tradisi yang mulia dalam diri, keluarga dan lingkungan masyarakat kita, sehingga fitrah yang telah kita raih di hari yang agung ini akan tetap terpelihara hingga akhir kehidupan kita. Marilah kita jadikan spirit ibadah puasa sebagai perisai diri kita dari godaan dan ujian kehidupan di masa-masa mendatang.
الله اكبر    الله اكبر    الله اكبر    ولله الحمد
Kamum Muslimin yang saya muliakan...............!
Kita sesungguhnya mengetahui, bahwa tujuan final disyari’atkannya ibadah puasa adalah untuk membentuk pribadi  muttaqin  yang memiliki karakter seperti yang disinyalir Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 134 -135 :
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ  يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ{134}وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَ نْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللهَ  فَاسْتَغْفَرُوا لِذُ نُو بِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّ نُوبَ إِلاَّ اللهُ وَ لَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ{135}
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.[134] Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.[135]
Dengan menghayati pesan ayat tersebut, maka segala aktifitas ibadah yang kita laksanakan hendaknya tidak hanya terjebak pada rutinitas ritual yang kering makna, akan tetapi ibadah yang kita jalankan seharusnya mampu menangkap hikmah syari’ah di balik pelaksanaan ibadah itu, yakni memperbaiki kepribadian dan prilaku kita dari kejahilan menuju keshalehan, dari kekotoran menuju kesucian, dari kebrutalan menuju keramahan, dari kekikiran menuju kedermawanan, dari kezhaliman menuju keadilan, dari ketidaktahuan menuju pencerahan, dan seterusnya. Sebab, seluruh amal ibadah yang disyari’atkan Islam sesungguhnya dimaksudkan dari, oleh dan untuk umat manusia itu sendiri.
Ibadah puasa pada hakikatnya merupakan suatu proses penempaan dan pencerahan diri, yakni upaya yang secara sengaja dilakukan untuk mengubah prilaku setiap muslim agar menjadi orang yang semakin meningkat ketakwaannya. Melalui ibadah puasa, sebagai manusia yang memiliki nafsu dan cenderung ingin selalu mengikuti hawa nafsu, kita dilatih untuk mengendalikan diri supaya menjadi manusia yang dapat berprilaku sesuai dengan fitrah aslinya. Fitrah asli manusia adalah cenderung taat dan mengikuti ketentuan Allah swt. Melalui proses pencerahan yang terkandung di dalam ibadah puasa, diharapkan setiap muslim menjadi manusia yang dimanapun dia hadir, terutama dalam masyarakat yang bersifat plural ini dapat memberi manfaat kepada sesama.
Risalah Islam sesunggunya bukan hanya diperuntukkan bagi umat Islam saja, tapi ajarannya juga sarat dengan nilai-nilai yang universal. Seperti ajaran yang menekankan pentingnya setiap muslim agar mau dan mampu memberi manfaat kepada sesama. Dalam pandangan Islam, salah satu indikator kualitas kepribadian seseorang adalah seberapa besar kahadirannya mampu memberi manfaat kepada sesama, atau dalam bahasa lain, semakin besar kemampuan seseorang memberikan manfaat kepada orang lain, maka semakin unggul pula kualitas keberagamaannya. Rasulullah menyatakan dalam sabdanya:
خَيرُ النَّاسِ أَ نْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Artinya : “Manusia yang terbaik adalah manusia yang paling banyak kontribusinya/manfa’atnya untuk orang lain.
الله اكبر    الله اكبر    الله اكبر    ولله الحمد
Saudaraku...................!
Hal lain yang perlu kita sadari dalam mengarungi samudra kehidupan ini adalah, telah menjadi sunnatullah bahwa kehidupan ini diwarnai dengan susah dan senang, tangis dan tawa, rahmat dan bencana, menang dan kalah, peluang dan tantangan, yang acap kali menghiasi dinamika kehidupan kita. Orang bijak sering berkata “hidup ini laksana roda berputar”, sekali waktu bertengger di atas, pada waktu yang lain tergilas di bawah. Kemarin sebagai pejabat, sekarang kembali menjadi rakyat, suatu saat pernah menjadi kaya dan pada saat yang lain hidup sengsara, kemarin sehat segar bugar, saat ini berbaring sakit tidak berdaya, bahkan mungkin tetangga kita, saudara-saudara kita, orang tua kita, suami/istri kita, anak-anak kita tahun kemarin masih bersama kita melaksanakan shalat Ied seperti hari ini, namun sekarang, mereka yang kita cintai telah meninggalkan kita kembali keharibaan Allah SWT. Kehidupan ini tidak ada yang kekal, semua akan terus bergerak sesuai dengan kehendak dan ketentuan rabbul ‘alamin. Karena itu, tadahkanlah tangan, tundukkanlah kepala, hadirkanlah hati, sampaikanlah pinta dan panjatkanlah do’a agar Allah mengampuni dosa-dosa sanak keluarga kita yang telah kembali kehadiratNya. Dan kita yang masih hidup di dunia ini, kiranya diberi Allah taufik dan hidayahNya agar kita tetap berjalan dalam kehidupan yang mendatangkan keridhaanNya.
Hadirin yang berbahagia..................!
Sebagai seorang mukmin tentu tidak ada celah untuk bersikap frustasi dan menyerah kepada keadaan, akan tetapi harus tetap optimis, bekerja keras dan cerdas seraya tetap mengharap bimbingan Allah SWT, karena sesungguhnya rahmat dan pertolongan Allah akan senantiasa mengiringi hamba-hamba-Nya yang sabar dan teguh menghadapi ujian. Sebagai seorang mukmin, kita juga tidak boleh hanyut dalam godaan dan glamornya kehidupan yang menipu dan fana ini. Justru sebaliknya, orang mukmin harus terus menerus berusaha mengobarkan obor kebajikan, menebarkan kasih sayang, menegakkan dakwah, merajut ukhuwah dan menjawab segala tantangan dengan penuh kearifan dan kesungguhan.
Allah berfirman dalam surat Ali Imran;139:
وَ لاَ تَهِنُوا وَ لاَ  تَحْزَ نُوا وَأ َنْتُمُ اْلأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ.
Artinya : “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.
Ayat tersebut menegaskan kepada kita agar kita senantiasa berupaya memanfaatkan umur yang kita miliki dengan sebaik-baiknya, usia yang masing-masing kita lalui pasti akan tetap menghadapi tantangan, ujian dan selera kehidupan yang menggoda, karenanya kita harus tetap mawas diri dan tidak terbuai dengan nafsu angkara murka yang suatu saat dapat menjerumuskan kita dalam lembah kenistaan. Mari kita pergunakan kesempatan dan sisa umur untuk memperbanyak bekal dan amal shaleh guna meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di alam dunia yang fana ini maupun di alam akhirat yang kekal abadi. Sebab, kita tidak pernah tahu kapan roda kehidupan ini akan berhenti berputar. Tapi....., yang terpenting adalah bahwa bukan kematian itu yang harus kita takutkan, sebab dipastikan dia akan menjemput kita, tapi sedikitnya bekal menuju kematian itu yang perlu kita risaukan, sebab malang yang berkepanjanganlah yang akan dirasakan bila tiada bekal yang kita bawa.
Saudaraku............!
Suatu saat Lukman al-Hakim, seorang shalih yang namanya diabadikan Allah dalam Al-Qur’an pernah menyampaikan nasehat  kepada putranya :
يَا بُـنـَيَّ اِنَّ الـدُّنـْيـَا بـَحْـرٌ عَـمِـيْـقٌ غَـرِقَ فِـيْـهِ خَـلْـقٌ كـَثِـيْـرٌ فَـلْـتـَكُـنْ سَـفـِيْـنـَتـَكَ فـِيْـهِ اْلإيْـمَـانُ وَلْـيـَكـُنْ حَـشْـوُهَـا الـتـَّقْـوَى وَلْـيـَكـُنْ شِـرَاعُـهَـا الـتـَّـوَكـُّـلُ فـَعَـسَى اَنْ تـَنـْجُـوْا ومَـا اظُـنـُّكَ بـِنـَاجٍ.  
Artinya :   Hai anakku, sesungguhnya dunia ini tidak obahnya seperti lautan dalam yang menenggelamkan banyak orang, maka gunakanlah iman sebagai bahtera untuk mengharunginya, berisikan takwa dan berlayarkan tawakkal. Semoga kamu selamat, tapi aku sendiri sangsi akan keselamatanmu ”.
Kamum Muslimin yang saya muliakan...............!
Melalui khutbah ini saya mengajak kepada kita semua, marilah kita tampil pada hari ini dan untuk hari-hari selanjutnya dengan saling memaafkan. Maka, sebarkanlah rasa damai dan kasih sayang, hapuslah luka lama, jangan ciptakan luka yang baru, tinggalkan dendam permusuhan dan hapus rasa kebencian.
Idul fitri hanya pantas dirayakan oleh orang-orang yang telah berpuasa Ramadhan dan orang-orang yang ikhlas untuk saling memaafkan, dan mau berlapang dada menerima kembali kehadiran orang-orang yang dulu sangat dibencinya.
Sebaliknya bersedihlah orang-orang yang gagal memenuhi undangan Allah di bulan Ramadhan, juga orang-orang yang tidak mau meminta maaf atau enggan memberi maaf pada orang lain.
Allah SWT selalu memanggil hamba-hamba-Nya yang beriman agar mau membuka diri dan toleran seperti firman-Nya dalam surat an-Nuur ayat 22:
..................................... وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلاَ تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللهُ  لَكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya : Dan hendaklah mereka mema`afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. an-Nuur : 22).
Akhirnya Saya ucapkan: SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1 SYAWAL 1433 H MOHON MA’AF LAHIR DAN BATIN ”.. Semoga kita kembali kepada fitrah dan bersih dari dosa, baik dosa kepada Allah maupun dosa kepada sesama manusia. Dengan demikian mulia kita dihadapan Allah, terhormat kita dihadapan sesama manusia.
بَـارَ كَ اللهُ لِـيْ وَ لـَـكـُـمْ فِى الـْـقـُـرْ آ ِن ا لـْـعَـظِـيْـمِ وَ نَـفـَـعَـنِـيْ وَ اِ يـَّـا كـُـمْ بـِـمَـا فِـيْهِ مِـنَ ا ْلا يَـاتِ وَ ا لـِذ ّ كـْـرِ ا لْـحَـكِـيْـمِ  وَتــَـقـَـبـَّـلَ مِـنِّيْ وَ مِـنْـكـُمْ تـِـلا َ وَ تـَـه اِ نـَّـه هُــوَ ا لـسَّــمِــيْــعُ ا لـعَـلـِـيْـمُ  وَ ا لْـحَـمْـدُ ِللهِ رَ بِّ ا لـْـعـَالـَـمِـيْـنَ.