Kaum Muslimin jama’ah shalat Id yang
dimuliakan Allah...........!
Ramadhan sebagai tamu agung itu
telah berlalu meninggalkan kita, secara perlahan dan berangsur ia meninggalkan
kita. Puncaknya adalah saat matahari kemarin sore cahayanya redup dan terbrnam di ufuk
barat, ikut hilang
dalam pekatnya kegelapan malam, saat itulah Ramadhan benar-benar
meninggalkan kita.
Bagi orang-orang yang menyambut
kehadiran Ramadhan dengan sukacita dan melayaninya dengan peningkatan ibadah, tentu membawa kesan yang terindah
dalam hidupnya. Karena
itu, wajarlah kalau orang-orang yang beriman merasa bersedih saat berpisah
dengan bulan Ramadhan, sebab dia tidak mengetahui apakah Ramadhan tahun yang
akan datang masih bisa berjumpa atau tidak.
Hari ini di hati orang-orang yang
beriman tentu berbaur antara rasa sedih dan gembira. Sedih karena Ramadhan
sebagai tamu yang mulia sudah berlalu dari kehidupannya. Seolah-olah dia
meninggalkan pesan; Selamat tinggal hamba-hamba Allah yang beriman.
Tahun depan aku akan datang kembali walaupun kalian belum tentu ada dalam kehadiranku nanti.
Kalau diibaratkan
Ramadhan itu manusia, dapatkah kita merasakan lambaian tangan dan senyum
indahnya saat ia bergegas meninggalkan kita?. Adakah kesan yang baik kita berikan kepadanya?. Kita
layanikah dia selama menjadi tamu kita? Kenangan indahkah yang dia bawa pergi
atau kenangan yang buruk?. Tentu, hal seperti ini yang dirasakan
pilu manakala mengenang perpisahan dengan tamu agung yang penuh dengan
kemuliaan.
Kaum Muslimin jama’ah shalat Id yang
saya muliakan...........!
Di sisi lain, hari ini kita tentu merasa
gembira, karena kita telah usai melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan pada bulan
Ramadhan. Rasa gembira itu tentu lebih dirasakan oleh orang-orang yang benar-benar
melaksanakan amal ibadah pada bulan Ramadhan tersebut. Sebab, hari ini adalah
merupakan hari kemenangan setelah selama satu bulan kita berjuang melatih diri untuk mengendalikan
hawa nafsu dalam melaksanakan ibadah puasa.
Pada
pagi hari yang khidmat berselimutkan rahmat dan kebahagiaan ini, pantas dan wajar kalau kita
bersyukur kehadirat Allah atas segala curahan rahmat dan nikmatNya kepada kita,
sehingga kita dapat melaksanakan shalat ‘Idul
fitri di tempat yang berbahagia ini.
Alunan takbir, tahmid, taqdis dan
tahlil berkumandang sebagai tanda membesarkan dan mengagungkan asma’ Allah SWT.
Alunan takbir yang
dikumandangkan lebih dari satu setengah milyar ummat manusia di muka bumi ini, membahana
di setiap sudut kehidupan, baik di Masjid- Masjid, di Lapangan, di Surau, di Kota maupun di Desa, dan di seluruh negeri yang
terdapat umat Islam. Bahkan di daerah-daerah yang sedang mendapatkan cobaan
besar dari Allah SWT, seperti saudara-saudara kita umat Islam yang ada di
Rohingya - Myanmar, ummat Islam di Palestina dan di berbagai tempat lainnya.
Kalimat takbir itu juga kita
kumandangkan di sini, di bumi tempat kita bersujud dan bersimpuh ini untuk menghadapkan
wajah kepada Allah SWT. Iramanya memenuhi ruang antara langit dan bumi, yang
dapat menggetarkan Qolbu, terutama bagi orang-orang yang beriman kepada Allah.
Kumandang takbir dan tahmid itu
sesungguhnya adalah wujud kemenangan dan rasa syukur kaum muslimin kepada Allah
SWT atas keberhasilannya meraih fitrah atau kesuciannya kembali
melalui perjuangan lahir dan bathin lewat pelaksanaan ibadah puasa dan segenap rangkaian ibadah yang
dilaksanakan selama bulan Ramadhan.
Allah SWT menegaskan melalui firmannya dalam Al-Qur’an,
surat Al-Baqoroh: 185:
Artinya : “……dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah..................!
Islam sesungguhnya telah mengajarkan
takbir kepada umatnya, agar manusia senantiasa mengagungkan asma’ Allah kapanpun
dan di manapun.
الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Dalam suasana hari kemenangan ini,
marilah kita menghayati kembali makna kefitrahan kita, baik
sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifahAllah
di muka bumi. Idul fitri yang dimaknai kembali kepada kesucian rohani, sesungguhnya
mengisyaratkan bahwa setiap orang yang merayakan ‘Idul Fitri
berarti dia sedang merayakan kesucian rohaninya, dia sedang menikmati sikap keberagamaan yang
benar lagi
diridhai Allah SWT. Di sinilah seungguhnya letak keagungan dan kebesaran hari
raya ‘Idul
Fitri, hari di mana para hamba Allah
merayakan keberhasilannya mengembalikan kesucian diri dari segala dosa melalui
pelaksanaan amal shaleh dan ibadah puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana
disabdakan oleh Rasul saw :
Artinya : “Siapa yang berpuasa di
bulan Ramadhan yang dilandasi
dengan keimanan dan dilaksanakan dengan
benar, maka Allah akan mengampuni
dosa-dosanya yang telah lalu.”
(HR. Muslim).
Namun perlu disadari, bahwa melalui ibadah puasa dan
ibadah lainnya yang dilaksanakan selama bulan Ramadhan itu, hanyalah mampu menghapus dosa-dosa kita kepada
Allah, sementara dosa kepada sesama manusia Allah tidak akan mengintervensinya, dosa kita kepada
sesama manusia baru akan terampuni apabila antara
sesama manusia itu saling memaafkan. Karena itu, sewajarnyalah momentum ‘Idul Fitri
ini kita jadikan sebagai satu kesempatan untuk saling mema’afkan. Sebab, dalam
hidup ini tentu ada khilaf dan salah yang pernah kita lakukan. Mungkin salah
mata dalam memandang, salah lidah dalam bertutur kata, salah tingkah dalam
ber-prilaku, semua itu harus kita tebus dengan mendapatkan kata ma’af dari
orang yang kita bersalah kepadanya. Karena itu, buanglah rasa dendam di hati, sirnakan keangkuhan dan kesombongan,
jauhkan diri dari kecongkakan, ganti semua itu dengan pintu ma’af dan senyum sapa
yang tulus, penuh dengan tali asih dan kehangatan silaturrahmi
antar sesama.
الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Kaum Muslimin yang mulia..................!
Kehidupan seperti inilah
sesungguhnya kehidupan yang damai, kemanapun kita melangkah tiada musuh dan
lawan, tiada rasa
gundah di hati, tiada resah dan gelisah, tiada duka nestapa dan tiada rasa
takut dan khawatir. Tetapi yang ada adalah teman seiring
dan sejalan yang mendatangkan ketenangan dan kedamaian. Apabila dosa-dosa kita
telah mendapat ampunan Allah lewat ibadah dan istighfar yang kita lakukan,
demikian pula dosa-dosa kita kepada sesama manusia telah memperoleh kema’afan,
maka sesungguhnya diri kita benar-benar kembali kepada fitrah atau kembali suci.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qu’an, surat Fathir; 18 - 21:
Artinya: ........Dan barangsiapa yang mensucikan
dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan
kepada Allah-lah kembali (mu).019. Dan tidaklah sama orang yang buta dengan
orang yang melihat.020. dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya.021.
dan tidak (pula) sama
yang teduh dengan yang panas.
Pada ayat tersebut, Allah SWT
membandingkan antara orang yang mampu mensucikan jiwanya dengan yang suka
mengotorinya, laksana orang yang melihat dengan orang yang buta, laksana terang
dan gelap, laksana teduh dan panas. Sungguh sebuah metafora yang patut kita
renungkan. Allah seolah hendak menyatakan bahwa manusia yang suci, manusia yang
baik, manusia yang menang dan beruntung itu adalah mereka yang mau dan mampu
melihat persoalan lingkungannya secara bijak, dan kemudian bersedia
menyelesaikannya, mereka yang mampu menjadi lentera di kala gelap, menjadi
payung untuk berteduh di kala panas dan hujan. Mereka inilah pemilik agama yang
benar, agama yang hanif dan suci,
terbuka, toleran, pemaaf dan santun. Inilah agama tauhid.
الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Idul Fitri pada
hakikatnya memberikan pesan kepada kita, bahwa syari’at Islam mengajarkan
kepada kesucian, keindahan, kebersamaan dan mengarahkan ummatnya agar memiliki
kepedulian sosial yang tinggi. Berat sama dipikul, ringan sama
dijinjing. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Rukun dalam kebersamaan dan
bersama dalam kerukunan.
Segala kelebihan yang melekat dalam
diri manusia dalam bentuk apapun, hendaknya disadari bahwa selain merupakan
nikmat, ia juga sekaligus sebagai amanat. Merupakan nikmat agar senantiasa disyukuri,
dan sebagai amanat supaya digunakan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan ketentuan
Allah SWT. Hal yang demikian karena fitrah pada hakikatnya adalah gabungan dari
tiga unsur kehidupan sekaligus, yakni (1) keindahan, (2) kebaikan, (3)
kebenaran. Seseorang yang ber-‘Idul
fitri berarti telah mampu mengembalikan fitrahnya, sehingga dapat berbuat yang indah,
baik dan benar.
Perbutan yang indah akan melahirkan
seni dan estetika, seni akan menghasilkan kreatifitas yang membangun dan
menyejukkan. Perbuatan baik akan menimbulkan etika dan menciptakan tatanan
kehidupan yang tertib dan harmonis. Sementara kebenaran akan menghasilkan ilmu
pengetahuan yang mengantarkan kemajuan peradaban ummat manusia. Karenanya, perubahan ke
arah yang lebih baik hanya dapat diwujudkan oleh pribadi-pribadi yang dalam
dirinya telah bersemi kefitrahan.
الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Hadirin yang dimuliakan Allah..........!
Namun demikian
perlu kita sadari bahwa kesucian manusia dapat berubah dari waktu ke waktu,
bisa dikarenakan pengaruh pergaulan, pengaruh budaya dan lingkungan, karena
latar belakang pendidikan dan faktor-faktor lainnya. Maka, agar fitrah itu
tetap terpelihara kesuciannya, hendaknya kita selalu mengacu kepada pola kehidupan
Islami yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta teladan dari para Ulama’.
Pola kehidupan
yang bersendikan nilai-nilai agama dan akhlak mulia, diharapkan mampu membangun
manusia seutuhnya, yang memiliki keutuhan iman, keluasan ilmu pengetahuan serta
tangguh dalam menghadapi berbagai peluang dan tantangan kehidupan.
Karena itu, segala kebiasaan baik
yang telah kita lakukan di bulan Ramadhan, baik ibadah puasa, tarawih, membaca dan memahami Al-Qur’an,
peduli kepada kaum dhu’afa, mengendalikan amarah dan hawa nafsu, menjaga
kejujuran, hendaknya tetap kita lestarikan, bahkan kita tingkatkan sedemikian
rupa agar dapat menjadi tradisi yang mulia dalam diri, keluarga dan lingkungan
masyarakat kita, sehingga fitrah yang telah kita raih di hari yang agung ini
akan tetap terpelihara hingga akhir kehidupan kita. Marilah kita jadikan spirit
ibadah puasa sebagai perisai diri kita dari godaan dan ujian kehidupan di
masa-masa mendatang.
الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Kamum Muslimin yang saya muliakan...............!
Kita
sesungguhnya mengetahui, bahwa tujuan final disyari’atkannya ibadah puasa
adalah untuk membentuk pribadi muttaqinyang memiliki karakter seperti yang disinyalir
Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 134 -135 :
Artinya : “(yaitu) orang-orang
yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.[134] Dan (juga) orang-orang
yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka
ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.[135]
Dengan menghayati pesan ayat
tersebut, maka segala aktifitas ibadah yang kita laksanakan hendaknya tidak
hanya terjebak pada rutinitas ritual yang kering makna, akan tetapi ibadah yang
kita jalankan seharusnya mampu menangkap hikmah syari’ah di balik pelaksanaan
ibadah itu, yakni memperbaiki kepribadian dan prilaku kita dari kejahilan
menuju keshalehan, dari kekotoran menuju kesucian, dari kebrutalan
menuju keramahan, dari kekikiran menuju kedermawanan, dari kezhaliman menuju
keadilan, dari ketidaktahuan menuju pencerahan, dan seterusnya. Sebab, seluruh
amal ibadah yang disyari’atkan Islam sesungguhnya dimaksudkan dari, oleh dan
untuk umat manusia itu sendiri.
Ibadah puasa pada hakikatnya
merupakan suatu proses penempaan dan pencerahan diri, yakni upaya yang secara
sengaja dilakukan untuk mengubah prilaku setiap muslim agar menjadi orang yang semakin meningkat
ketakwaannya. Melalui ibadah puasa, sebagai manusia yang memiliki nafsu
dan cenderung ingin selalu mengikuti hawa nafsu, kita dilatih untuk
mengendalikan diri supaya menjadi manusia yang dapat berprilaku sesuai dengan
fitrah aslinya. Fitrah asli manusia adalah cenderung taat dan mengikuti
ketentuan Allah swt. Melalui proses pencerahan yang terkandung di dalam ibadah puasa,
diharapkan setiap muslim menjadi manusia yang dimanapun dia hadir, terutama dalam masyarakat yang
bersifat plural ini dapat memberi manfaat kepada sesama.
Risalah Islam sesunggunya bukan
hanya diperuntukkan bagi umat Islam saja, tapi ajarannya juga sarat dengan
nilai-nilai yang universal. Seperti ajaran yang menekankan pentingnya setiap
muslim agar mau dan mampu memberi manfaat kepada sesama. Dalam pandangan Islam,
salah satu indikator kualitas kepribadian seseorang adalah seberapa besar
kahadirannya mampu memberi manfaat kepada sesama, atau dalam bahasa lain,
semakin besar kemampuan seseorang memberikan manfaat kepada orang lain, maka
semakin unggul pula kualitas keberagamaannya. Rasulullah menyatakan dalam sabdanya:
خَيرُ
النَّاسِ أَ نْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Artinya : “Manusia yang terbaik adalah manusia yang paling banyak
kontribusinya/manfa’atnya untuk orang lain” .
الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد
Saudaraku...................!
Hal lain yang
perlu kita sadari dalam mengarungi samudra kehidupan ini adalah, telah menjadi sunnatullah
bahwa kehidupan ini diwarnai dengan susah dan senang, tangis dan tawa, rahmat
dan bencana, menang dan kalah, peluang dan tantangan, yang acap kali menghiasi
dinamika kehidupan kita. Orang bijak sering berkata “hidup
ini laksana roda berputar”, sekali waktu bertengger di atas, pada waktu
yang lain tergilas di bawah. Kemarin sebagai pejabat, sekarang kembali menjadi
rakyat, suatu saat pernah menjadi kaya dan pada saat yang lain hidup sengsara,
kemarin sehat segar bugar,
saat ini berbaring sakit tidak berdaya, bahkan mungkin tetangga kita,
saudara-saudara kita, orang tua kita, suami/istri kita, anak-anak kita tahun
kemarin masih bersama kita melaksanakan
shalat ‘Iedseperti hari ini,
namun sekarang, mereka yang kita cintai telah
meninggalkan kita kembali keharibaan Allah SWT. Kehidupan ini tidak ada yang
kekal, semua akan terus bergerak sesuai dengan kehendak dan ketentuan rabbul
‘alamin. Karena itu,
tadahkanlah tangan, tundukkanlah kepala, hadirkanlah hati, sampaikanlah pinta
dan panjatkanlah do’a agar Allah mengampuni dosa-dosa sanak keluarga kita yang
telah kembali kehadiratNya. Dan kita yang masih hidup di dunia ini, kiranya
diberi Allah taufik dan hidayahNya agar kita tetap berjalan dalam kehidupan
yang mendatangkan keridhaanNya.
Hadirin yang berbahagia..................!
Sebagai seorang
mukmin tentu tidak ada celah untuk bersikap frustasi dan menyerah kepada
keadaan, akan tetapi harus tetap optimis, bekerja keras dan cerdas seraya tetap
mengharap bimbingan Allah SWT, karena sesungguhnya rahmat dan pertolongan Allah
akan senantiasa mengiringi hamba-hamba-Nya yang sabar dan teguh menghadapi
ujian. Sebagai seorang mukmin, kita juga tidak boleh hanyut dalam
godaan dan glamornya kehidupan yang menipu dan fana ini. Justru
sebaliknya, orang mukmin harus terus menerus berusaha mengobarkan obor
kebajikan, menebarkan kasih sayang, menegakkan dakwah, merajut ukhuwah
dan menjawab segala tantangan dengan penuh kearifan dan kesungguhan.
Artinya : “Janganlah kamu
bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah
orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman.”
Ayat tersebut menegaskan kepada kita
agar kita senantiasa berupaya memanfaatkan umur yang kita miliki dengan
sebaik-baiknya, usia yang masing-masing kita lalui pasti akan tetap menghadapi
tantangan, ujian dan selera kehidupan yang menggoda, karenanya kita harus tetap
mawas diri dan tidak terbuai dengan nafsu angkara murka yang suatu saat dapat
menjerumuskan kita dalam lembah kenistaan. Mari kita pergunakan kesempatan dan sisa umur untuk memperbanyak bekal
dan amal shaleh guna meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di
alam dunia yang fana ini maupun di alam akhirat yang kekal abadi. Sebab,
kita tidak pernah tahu kapan roda kehidupan ini akan berhenti berputar.
Tapi....., yang terpenting adalah bahwa bukan kematian itu yang harus kita
takutkan, sebab dipastikan dia akan menjemput kita, tapi sedikitnya bekal
menuju kematian itu yang perlu kita risaukan, sebab malang yang
berkepanjanganlah yang akan dirasakan bila tiada bekal yang kita bawa.
Saudaraku............!
Suatu saat
Lukman al-Hakim, seorang shalih yang namanya diabadikan Allah dalam Al-Qur’an
pernah menyampaikan nasehat kepada putranya :
Artinya
:“ Hai
anakku, sesungguhnya dunia ini tidak obahnya seperti lautan dalam yang
menenggelamkan banyak orang, maka gunakanlah iman sebagai bahtera untuk
mengharunginya, berisikan takwa dan berlayarkan tawakkal. Semoga kamu selamat,
tapi aku sendiri sangsi akan keselamatanmu ”.
Kamum Muslimin yang saya muliakan...............!
Melalui khutbah
ini saya mengajak kepada kita semua, marilah kita tampil pada hari ini dan
untuk hari-hari selanjutnya dengan saling memaafkan. Maka, sebarkanlah rasa damai dan kasih sayang,
hapuslah luka lama, jangan
ciptakan luka yang baru, tinggalkan dendam permusuhan dan
hapus rasa kebencian.
Idul fitri hanya pantas dirayakan
oleh orang-orang yang telah berpuasa Ramadhan dan orang-orang yang ikhlas untuk
saling memaafkan, dan mau berlapang dada menerima kembali kehadiran orang-orang
yang dulu sangat dibencinya.
Sebaliknya bersedihlah orang-orang
yang gagal memenuhi undangan Allah di bulan
Ramadhan, juga orang-orang
yang tidak mau meminta maaf atau enggan memberi maaf pada orang lain.
Allah SWT selalu memanggil hamba-hamba-Nya
yang beriman agar mau membuka diri dan toleran seperti firman-Nya dalam surat
an-Nuur ayat 22:
Artinya : Dan hendaklah mereka
mema`afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah
mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.
an-Nuur : 22).
Akhirnya Saya
ucapkan: ““ SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1 SYAWAL 1433 HMOHON MA’AF LAHIR DAN BATIN”.”. Semoga kita kembali kepada fitrah dan
bersih dari dosa, baik dosa kepada Allah maupun dosa kepada sesama manusia.
Dengan demikian mulia kita dihadapan Allah, terhormat kita dihadapan sesama
manusia.