Terlebih dahulu mari renungkan firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 185:
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ ﴿١٨٥﴾
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan “.
Rasul saw. Bersabda, artinya : “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!” (HR. Tirmidzi).
Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian. Tidak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan agar tidak lari dan menyimpang.
Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan, diantarany :
1. Kematian mengingatkan kita bahwa waktu itu sangat berharga.
Tidak ada sesuatu-pun buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa berharganya nilai waktu selain kematian. Tidak seorang-pun tahu berapa lama lagi jatah waktu untuk berada di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana tak seorang-pun tahu di mana kematian akan menjemputnya. Allah swt berfirman dalam surat Luqman : 34:
إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الارْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَداً وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴿٣٤﴾
“ Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal “.
Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu, pada hakikatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tidak ada satu detik pun waktu berlalu melainkan ajal kian mendekat. Allah swt mengingatkan hal ini dalam surah Al-Anbiya ayat 1:
اقْتَرَبَ لِلنَّاسِ حِسَابُهُمْ وَهُمْ فِي غَفْلَةٍ مَّعْرِضُونَ ﴿١﴾
“ Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).”
Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan tergerak untuk mengatakan, “Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan waktu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan.” Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan.
Firman Allah swt dalam surah Ibrahim ayat 44:
وَأَنذِرِ النَّاسَ يَوْمَ يَأْتِيهِمُ الْعَذَابُ فَيَقُولُ الَّذِينَ ظَلَمُواْ رَبَّنَا أَخِّرْنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ نُّجِبْ دَعْوَتَكَ وَنَتَّبِعِ الرُّسُلَ أَوَلَمْ تَكُونُواْ أَقْسَمْتُم مِّن قَبْلُ مَا لَكُم مِّن زَوَالٍ ﴿٤٤﴾
“ Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zalim: "Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul. (Kepada mereka dikatakan): "Bukankah kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa?,”
2. Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa.
Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan kisah Sinetron, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika Sutradara mengatakan ‘selesai’, usailah sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya. Lalu, masih kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras akan tetap selamanya menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal, Sinetron sudah berakhir.
Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang kaya. Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang Sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.
Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naif kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.
3. Kematian mengingatkan bahwa kita tidak memiliki apa-apa.
Fikih Islam menggariskan kepada kita bahwa tidak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan. Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. hanya tubuh kecil yang tidak berbalut, walau sehelai benang.
Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan?. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga?.
Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan pun akan kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah?. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.
4. Kematian mengingatkan bahwa hidup hanya sementara.
Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup selamanya, hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tidak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.
Ketika sinyal kematian mulai datang berupa rambut yang memutih, tenaga yang kian melemah, kulit yang semakin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari siklus: Awal, Berkembang, dan kemudian Berakhir.
5. Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga.
Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup itu amat berharga. Hidup tidak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.
Dalam hal ini seorang mukmin sepantasnya selalu mengingat firman Allah dalam surah Al-Qoshos ayat 77:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الاخِرَةَ وَلا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الارْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ ﴿٧٧﴾
“ Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. “.
Wajarlah kalau di katakan : “Ad-Dun-ya mazra’atul akhirah.” (Dunia adalah ladang buat akhirat).
Orang yang mencintai sesuatu tidak akan melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengingat yang ia cintai. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan.