Ilmu
dan Kebahagiaan
Dalam kondisi
bagaimanapun hendaklah kita “menyenangkan hati”. Pada saat anda
kaya, senangkanlah hatimu, sebab dihadapanmu terbentang kesempatan untuk
mengerjakan yang sulit-sulit. Jika
anda miskin, senangkan pula
hatimu! Karena engkau terlepas dari penyakit sombong dan terlepas
dari orang yang dengki kepadamu lantaran kemiskinanmu. Kalau engkau tidak terkenal, senangkan pula hatimu! Karena orang lain tidak banyak yang mencela dan mencercamu mu.
Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan! Orang miskin menyangka, bahagia terletak
pada harta kekayaan! Rakyat jelata
menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan! Orang biasa menyangka bahagia terletak pada kepopuleran!
Benarkah demikian.................?
Sesungguhnya,
kebahagiaan bukanlah terletak seperti
pada ungkapan di atas.
Semua kenikmatan duniawi hanya
sekedar tangga untuk
mengantarkan kepada
kebahagiaan, semua itu hanya sarana, bukan kebahagiaan
itu sendiri.
Betapa
banyak pejabat yang menjadi pablik
pigur namun hidupnya diakhiri dengan penderitaan. Betapa banyak artis terkenal yang hidupnya
jauh dari kebahagiaan dan berujung kepada narkoba dan obat penenang! Lalu,
apakah itu ”bahagia”?
Dalam pandangan
banyak tokoh, mereka memberi pemahaman yang berbeda dalam menentukan tolok ukur
kebahagiaan. Namun yang jelas, kebahagiaan itu sangat terkait dengan keyakinan
diri seseorang akan Hakikat kehidupan ini. Dalam pandangan Islam,
hidup ini adalah ujian. Orang
yang mengerti tentang hal ini, tentu dalam situasi dan kondisi apapun yang sedang dia hadapi, akan
merasakan bahagia selalu.
Jadi,
kebahagiaan itu adalah kondisi hati seseorang yang dipenuhi dengan keyakinan
(iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya.
Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan
keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah
merasa bahagia, meskipun harus dimasukkan
ke dalam penjara dan dicambuk
setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Ibnu Taimiyah merasakan
bahagia meskipun harus mati dalam penjara. Mereka itu adalah orang-orang yang merasakan kebahagiaan, kendatipun secara
pisik mereka tersiksa, tapi hati mereka tidak mampu dikuasai oleh orang yang menyiksa mereka, sebab itulah mereka
tetap merasakan kebahagiaan,
karena mampu mempertahankan prinsip-prinsip kehidupan untuk tetap pada
keyakinan yang telah tertanam di dalam hati.
Ketahuilah............! Bahwa kesenangan atau kebahagiaan tiap-tiap sesuatu ialah bila merasakan nikmat,
kesenangan dan kelezatannya, kelezatan itu ialah sesuai dengan tabiat penciptaannya
masing-masing. Misalnya; kenikmatan mata ialah melihat sesuatu yang indah, kenikmatan
telinga mendengar suara yang merdu, kenikmatan lidah menikmati lezatnya
citarasa makanan, demikian pula segala anggota tubuh yang lain dari tubuh manusia.
Ada pun kelezatan hati ialah teguh dalam ma’rifat kepada Allah,
karena hati dijadikan untuk mengingat Allah.
Seorang rakyat
jelata akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan Menteri, namun
kegembiraan itu akan berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan Presiden.
Tentu saja berkenalan dengan Allah merupakan puncak dari segala kegembiraan,
lebih dari apa yang dapat perkirakan oleh manusia. Sebab, tidak ada di dunia
ini yang melebihi kemuliaan Allah. Oleh karena itu, tidak
ada perkenalan akan sesuatu yang lebih lezat daripada ma’rifatullah (mengenal
Allah).
Ma’rifatullah adalah buah dari ilmu.
Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan ” لااِلــهَ اِلا الله
”( Tiada Tuhan selain Allah ). Maka, untuk dapat
meraih kebahagiaan yang hakiki, manusia harus meraih ilmu yang mampu
mengantarkannya kepada keyakinan untuk beriman dan taat kepada Allah dan
Rasulnya dengan menerima syari’at Islam sebagai satu-satunya agama yang benar,
bukan ilmu yang justru membuat dirinya ragu akan kebenaran Islam. Karena itu,
satu kerugian besar jika manusia mencari ilmu yang justru tidak pernah mengantarkannya kepada keyakinan, karena selamanya dia tidak akan pernah menikmati
kebahagiaan yang hakiki.