Selasa, 14 Februari 2012

Meneladani Kejujuran Nabi Muhammad SAW


Meneladani Kejujuran Nabi Muhammad
( Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW tahun 1433H )
Nabi Muhammad adalah manusia paripurna yang layak untuk dijadikan teladan dalam kehidupan, terutama bagi ummat islam. Dari nukilan sejarah yang terangkum dalam kehidupannya dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad pantas dijadikan teladan dalam berbagai aspek kehidupan. Baik sebagai ayah dalam keluarga, sebagai kepala pemerintahan dalam sebuah Negara, sebagai panglima perang dalam medan pertempuran, sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan sosial, sebagai seorang hamba dalam pengabdiannya kepada sang khaliq, maupun lain-lain yang berkenaan dengan berbagai kehidupan.
Dari semua nilai-nilai kebaikan yang telah dicontohkan Nabi Muhammad dalam kehidupannya, bila dikaitkan dengan kondisi kekinian di Indonesia ini, paling tidak satu hal dari keteladanan yang ada pada diri Nabi Muhammad perlu diterapkan secara kolektif dalam kehidupan berbangsa, yaitu; Kejujuran. Sebab salah satu sifat yang dikagumi dari diri beliau dari sejak beliau masih kanak-kanak sampai wafatnya adalah sifat jujur, sehingga kaum Quraisy bemberinya gelar “Al-Amin” (orang yang jujur, amanah dan dapat dipercaya).
Sifat jujur ini penting untuk digelorakan, diterapkankan dalam kehidupan seluruh bangsa Indonesia, terutama kalangan elitnya. Sebab pada kenyataannya sifat jujur ini cenderung diabaikan. Selain itu, kehidupan semakin keras dan penuh persaingan, akhirnya membawa kepada sikap pragmatis dengan menanggalkan kejujuran dan menghalalkan segala cara untuk meraih kemewahan dan kesenangan materi.
Di kalangan masyarakat bahkan ada pandangan, kalau berperilaku jujur dan lurus akan dijauhi, tidak disukai dan hidupnya susah. Katanya; jujur akan terbujur. Pandangan seperti ini harus dicegah dan dihentikan.
Dalam menerapkan kejujuran ada tiga tingkatan yang harus dilakukan:

Pertama: Jujur kepada Allah, yaitu menepati janji untuk taat terhadap semua perintah Allah dan meninggalkan laranganNya. Larangan Allah yang berkaitan dengan kejujuran ialah sifat munafik. Sifat minafik ditandai; apabila berbicara ia berbohong, kalau berjanji ia mengingkari janjinya, dan jika dipercaya ia berkhianat. Sifat-sifat munafik ini kelihatannya tumbuh subur dan sangat mengakar sekali.

Kedua: Jujur terhadap sesama manusia, yaitu menjaga sesuatu yang diterima dan menyampaikannya kepada yang berhak menerimanya. Kejujuran seperti ini sangat dituntut untuk dapat diterapkan terutama oleh para penguasa dan Ulama’ dalam membimbing masyarakat.

Ketiga: Jujur kepada diri sendiri. Allah telah membekali manusia dengan akal untuk membedakan yang hak dan batil. Pada tataran ini, banyak manusia yang mengkhianati dirinya sendiri dengan mengambil harta yang bukan miliknya. Prilaku seperti inilah yang membuat suburnya korupsi di tanah air ini.

Kesimpulan:
Dalam suasana memperingati Maulid tahun 1433 H ini, sejatinya bangsa Indonesia perlu kembali mendalami Sirah Nabawiyah (Perjalanan kehidupan Rasul ), untuk mengambil teladan bagi kehidupan kita, terutama yang berkenaan dengan kejujuran. Sebab dengan kejujuran yang betul-betul merakyat ditengah-tengah masyarakat dan pemimpinnya akan menghantarkan masyarakat di Negara ini menuju kesejahteraan,  kedamaian, dan ketenteraman. Apalagi mampu mengambil sisi-sisi lain dari suriteladan yang ada pada diri Nabi Muhammad SAW.