Kamis, 13 September 2012

Memaknai Hidup Yang Sesungguhnya

Hina Tapi Dianggap Mulia?
Meniru adalah merupakat tabiat manusia. Tidak selamanya meniru itu buruk, tergantung siapa yang ditiru, dalam hal apa dan bagaimana kita meniru. Ada nasehat dalam hal meniru yang baik; Tirulah orang yang mulia, andaipun kamu tidak bisa persis seperti mereka, tapi sesungguhnya meniru orang yang mulia itu merupakan keberuntungan.
Persoalannya adalah, dalam kehidupan ini banyak sekali pilihan yang memungkinkan untuk ditiru. Dari yang tingkat lokal maupun tingkat sekaliber dunia. Dari yang paling baik, hingga yang paling buruk, dan dari zaman nabi Adam hingga zaman kita sekarang, dari yang berwujud sosok perorangan maupun kaum atau golongan.
Pada umumnya dalam meniru ini standartnya sama, bahwa semua orang tentu memilih untuk meniru tokoh atau kaum yang dianggapnya mulia, lebih mulia dari posisinya saat ini. Hanya saja, penilaian tentang siapa yang mulia dan siapa yang hina berbeda-beda, tergantung dari sisi mana memandangnya.
Ketika kehidupan manusia dihinggapi penyakit “ cinta dunia “ maka kacamata duniawilah menjadi sudut pandang yang paling utama baginya. Ukuran mulia selalu difahami dalam kemewahan dan kebebasan dalam mengekspresikan apa yang diinginkan. Kaum seperti inilah yang kelihatannya dianggap mulia, untuk kemudian dijadikan sebagai panutan dan idola. Singkat kata, sekarang banyak yang menjatuhkan pilihannya kepada komunitas Barat untuk ditiru. Walaupun tidak semua pola hidup orang Barat negatif, tetapi dipandang dari sudut ajaran Islam banyak yang tidak sesuai dan menyimpang. Dengan meniru  gaya kehidupan orang-orang Barat mereka merasa bisa “ikut mulia dan merasa hebat”, ada juga yang sekedar ikut-ikutan dengan budaya Barat. Padahal, mereka adalah representasi dari kaum Yahudi dan Nasrani, atau bahkan orang kafir secara umum. Padahal Nabi Muhammad SAW sejak lama sudah mengingatkan dengan sabdanya, artinya:
“Kalian sungguh-sungguh akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka masuk ke lubang dhabb (semacam biawak), niscaya kalian akan masuk pula ke dalamnya. Kami (sahabat) bertanya, “Ya  Rasul”, apakah yang dimaksud itu adalah Yahudi dan Nasrani?” Beliau berkata, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR Bukhari dan Muslim).
Karena gandrungnya terhadap kehidupan orang-orang Barat, apapun yang berasal dari Barat diadopsi sebagai pegangan dan tradisi, meskipun berupa perilaku maksiat maupun pola pikir yang bertentangan dengan syariat, pergaulan bebas dengan lawan jenis, kebiasaan minum khamar, nyanyian-nyanyian yang mengobral kata-kata cabul, dandanan yang mempertontonkan aurat dan pola pikir liberal. Semua itu adalah sebagian produk Barat dan menjadi menu utama yang dikonsumsi oleh banyak umat Islam.
Muliakah mereka, atau hinakah mereka?
Naif sekali, jika kaum muslimin terkesima dan terpesona oleh ke-glamouran Barat. Atau menganggap mereka mulia, sehingga dengan suka hati menjadi penerus budaya mereka. Seharusnya kaum muslimin tidak layak merasa rendah diri, apalagi bersedih lantaran tidak bisa bebas seperti mereka. Karena kemuliaan kita terletak pada keimanan yang kita yakini, dan kehinaan itu apabila kita tanggalkan ketaatan dan keimanan, lalu menggantinya dengan perbuatan dosa dan kekafiran. Bagaimana mungkin kita menganggap orang kafir mulia, sementara Allah menganggap mereka makhluk paling hina?.
Firman Allah dalam surat Al-Bayyinah ayat 6:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُوْلَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
”Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”.
Bila ditanya mengapa mereka dianggap hina?, akan banyak alasan yang kita temukan dalam ayat-ayat maupun hadits Rasul. Kehinaan suatu kaum bisa ditilik dari rendahnya tujuan dan cita-cita mereka. Orang-orang kafir itu dipandang hina oleh Allah, karena puncak obsesi mereka adalah dunia yang hina, yang paling mereka buru adalah kenikmatan yang fana, tak sebanding dengan kenikmatan akhirat, baik dari sisi kadar maupun masanya. Allah telah menyingkap keinginan yang diimpikan mereka melalui firmanNya dalam surat An-Najm ayat 29-30:
فَأَعْرِضْ عَن مَّن تَوَلَّى عَن ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ﴿٢٩﴾ ذَلِكَ مَبْلَغُهُم مّنَ الْعِلْمِ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدَى ﴿٣٠﴾
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”.
Memburu kesenangan duniawi adalah obsesi terbesar mereka. Padahal, gambaran rendahnya nilai dunia dibanding akhirat digambarkan Nabi Muhammad seumpama tetesan air yang menempel di jari-jari, dibanding seluruh air yang ada di Samudera, sungguh tak terukur jauhnya selisih antara keduanya. Karena murahnya nilai dunia di sisi Allah, maka Allah memberikan kekayaan dunia kepada siapapun, tanpa membedakan yang mukmin dan yang kafir, yang dicinta maupun yang dibenci. Andai saja dunia itu berharga di sisi Allah, tentu Dia hanya akan menganugerahkan kepada orang-orang yang dicintainya saja. Rasulullah SAW bersabda, artinya:“Seandainya dunia itu di sisi Allah senilai dengan sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak memberikan minum kepada orang kafir, meski hanya seteguk air.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan shahih).
Begitu rendah cita-cita orang yang tak beriman. Karenanya, sehebat apapun mereka, Allah menganggapnya sebagai kaum yang tidak menggunakan akal untuk menuju Allah, tidak memahami hakikat makna hidup yang sesungguhnya. Bagaimana mereka jadikan dunia sebagai tujuan akhir hidupnya, sedangkan ujung dari kehidupannya adalah kematian?. Boleh jadi ajal datang sebelum mereka sempat menikmati jerih payahnya, selain hanya sedikit saja. Tidak jarang pula, kenikmatan dunia yang nilainya rendah itu harus dibayar dengan penderitaan yang kekal di neraka. Maha Suci Allah yang berfirman:
لاَ يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُواْ فِي الْبِلاَدِ ﴿١٩٦﴾ مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ ﴿١٩٧﴾
”Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS. Ali Imran 196 – 197).
Mungkin umat yang meniru orang kafir hanya melihat yang enak-enaknya saja. Seakan hidup tanpa beban, bersenang-senang dan menyalurkan keinginan sesuka hati. Padahal, realitanya tidak seperti yang mereka duga. Tidak ada satupun manusia hidup tanpa pernah menghadapi masalah. Selalu dan pasti ada dua keadaan dalam hidup, sedih dan gembira, sehat dan sakit, tangis dan tawa serta kemudahan dan kesulitan. Justru orang yang beriman memiliki nilai lebih dibanding orang-orang kafir.
Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 104:
وَلاَ تَهِنُواْ فِي ابْتِغَاء الْقَوْمِ إِن تَكُونُواْ تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللّهِ مَا لاَ يَرْجُونَ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (QS. An-Nisa’ 104)
Harapan inilah yang menjadi faktor menjadi ringan dari beban manusia yang beriman. Harapan untuk mendapatkan ganti yang lebih baik dalam bentuk pahala dan keridhaan Allah di akhirat kelak.
Berbeda dengan orang-orang kafir yang tidak ada alasan untuk meringankan mereka dari siksa Allah dan tidak ada pula kompensasi di akhirat atas musibah yang dideritanya. Derita dunia bagi mereka hanyalah ’pendahuluan’ dari siksa yang akan menimpa mereka di akhirat. Maka layakkah kita meniru kaum yang memiliki masa depan begitu suram seperti mereka?
Alangkah indah motto hidup Khalifah Umar bin Khathab: Kami adalah suatu kaum yang telah Allah muliakan dengan Islam, maka kami tidak mengharapkan lagi kemuliaan selain dengannya.
Saudaraku..............................!
Jangan jadikan kesenangan dunia sebagai obsesi dalam mencapai kesenangan hidup, tapi jadikanlah apa yang kita peroleh di dunia ini sebagai jembatan menuju kebahagiaan hidup di akhirat.