Rabu, 14 November 2012

Memaknai Hijrah Nabi Muhammad

Memahami Makna Hijrah Nabi Muhammad
Memasuki bulan muharram 1434 H ini mengingatkan kita kepada peristiwa besar yang sangat bersejarah bagi umat Islam, yaitu hijrahnya Nabi Muhammad dari kota Mekkah ke Madinah. Momen ini merupakan tonggak sejarah dalam perjalanan dakwah Rasulullah yang sangat menentukan bagi kesuksesan beliau dalam mengemban risalah Islam.
Dalam sejarah tercatat beberapa kali hijrah yang dilakukan ummat Islam pada masa Rasul, diantaranya, hijrahnya ummat Islam ke Habsyi dan hijrahnya Rasul ke Thaif. Hijrahnya ummat Islam ke Habsyi, demikian pula hijrahnya Rasul ke Thaif, kurang membawa pengaruh terhadap perkembangan dakwah Islam. Namun hijrahnya Nabi Muhammad dan para sahabatnya ke Madinah merupakan hijrah yang membawa perubahan sangat signifikan terhadap perkembangan dakwah Islam dan kehidupan masyarakat Islam. Sebab, Hijrah Nabi Muhammad ke Madinah ini merupakan strategi menuju kehidupan yang lebih baik sebagai sebuah perjuangan menuju cita-cita luhur membentuk tatanan masyarakat Islam.
Hijrahnya Nabi Muhammad bersama ummat Islam ke Madinah ini berjalan sukses, karena terprogram dengan baik. Hijrah Nabi Muhammad ke Madinah ini juga menjadi cacatan sejarah ditetapkannya menjadi hitungan tahun bagi ummat Islam, karena Rasulullah dapat melakukan perubahan yang signifikan dalam kehidupan masyarakat Madinah dan sekitarnya dari yang tidak baik menjadi baik.
Banyak hikmah di balik peristiwa hijrah tersebut. Diantaranya, bahwa kegagalan tidak mesti menjadikan seseorang berputus asa dalam berjuang mencapai maksud dan tujuan yang telah ditetapkan. Jika manusia mengalami kegagalan di suatu tempat, hendaklah mencari tempat lain guna mencapai kesuksesan.
Tanah Makkah sebagai tanah kelahiran Nabi Muhammad bukan merupakan lingkungan yang kondusif untuk pengembangan dakwah Islam. Sebab, Makkah dipenuhi oleh orang-orang yang tidak baik akhlak dan mentalnya. Oleh karena itu sudah selayaknya negeri ini ditinggalkan menuju negeri dan lingkungan yang lebih baik dan bisa mendukung untuk kesuksesan dakwah. Untuk itu, Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar hijarah ke Madinah, dan di sana merupakan tempat ideal dalam melanjutkan misi dakwah yang diemban.
Hal ini memberikan pelajaran bahwa manusia harus berusaha mencari lingkungan yang baik dan dapat mendukung untuk kesuksesannya. Diakui bahwa lingkungan bisa membawa pengaruh besar terhadap pembentukan watak, perilaku dan karakter seseorang. Pengalaman menunjukkan jika seseorang besar dan tumbuh di lingkungan yang tidak baik, kelak akan memiliki kepribadian yang tidak akan berbeda dari orang-orang tempat dia tumbuh dan berkembang.  
Banyaknya kendala yang dihadapi Nabi Muhammad saat berdakwah di Makkah salah satu faktornya adalah dikarenakan Nabi Muhammad dalam menjalankan dakwahnya masih secara personal. Di samping itu, percaturan politik di tanah kelahiran beliau begitu tinggi, sehingga dakwah Islam selalu mengalami kebuntuan karena selalu ditekan oleh penguasa dan elit politik Makkah. Ketika Rasululllah hijrah ke Madinah, dakwah tidak lagi dilakukan secara personal, namun secara institusi dan melalui lembaga negara. Sebab, sesampainya Nabi Muhammad di Madinah, beliau membentuk negara dan memimpin negara tersebut.
Hal ini memberikan pelajaran bahwa dakwah akan mudah maraih sukses jika dilakukan oleh orang yang memegang tampuk kekuasaan. Jika dakwah hanya dari mimbar ke mimbar oleh seseorang yang tidak memiliki kekuasaan, sekalipun ada yang mendengar dan mengikuti,  jumlahnya tentulah tidak sebanyak dakwah yang dilakukan oleh mereka yang punya kekuasaan.
Jika saja seorang da’i adalah jenderal, tentu aturan agama akan lebih tegak. Jika muballigh adalah hakim dan jaksa, tentulah undang-undang akan lebih sempurna dan mudah diterapkan. Demikian seterusnya sesuai dengan jajaran yang ada dalam lembaga kenegaraan.
Hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad juga merupakan bentuk optimisme dan mengandung nilai peradaban. Sebab, Ketika Nabi Muhammad hijrah menuju kota yang disebut Yastrib, kemudian beliau merubah nama kota Yastrib menjadi Madinah, di kota inilah beliau memulai membentuk sebuah peradaban baru dan nilai-nilai baru yang berbeda dengan peradaban dan nilai-nilai sebelumnya.  
Sikap optimisme yang ditunjukkan Nabi Muhammad penting untuk dijadikan pembelajaran ketika kita dalam menghadapi krisis seperti yang terjadi saat ini. Disamping itu, kebersamaan juga merupakan salah satu kunci keberhasilan mencapai perubahan.
Sekurang-kurangnya ada tiga pesan hijrah yang dilakukan Rasul untuk kita jadikan acuan dalam meraih sukses.
Pertama: Masjid dijadikan sebagai pusat sentral kegiatan dalam pembinaan ummat. Hal ini dapat dipahami bahwa segenap aktifitas harus dilandasi dengan nilai-nilai ketaqwaan kepada Allah, sebab dari Masjid diharapkan tercipta kader-kader ummat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Maka tidak heran, sesampainya Rasul ke Madinah yang pertama dibangunnya adalah Masjid.
Kedua: Mempersaudarakan antara golongan Muhajirin dan Anshar. Hal ini mengasilkan kekuatan yang luar biasa, sebab dikalangan ummat tercipta kekompakan yang kuat dan tak mudah tergoyahkan. Dalam hal ini Rasul menggambarkan ummat Islam itu seperti satu tubuh, apabila yang satu merasa sakit maka yang lain juga harus merasakan sakit. Kekompakan inilah yang membuat kader-kader Rasul menjadi kuat dan akhirnya mereka dapat mendukung kesuksesasan dakwah Nabi Muhammad SAW.
Ketiga: Menanamkan semangat jihad dalam membela agama Islam. Semangat jihad yang sudah tertanam akan mendorong semangat ummat untuk berkorban, baik berkorban harta maupun jiwa. Hasilnya, sahabat-sahabat yang dibina Rasul memiliki sikap loyalitas yang tinggi dalam membantu perjuangan Rasul dalam melanjutkan dakwah Islam.  
Peristiwa hijrah Nabi Muhammad memang telah berlalu selama 1433 tahun. Tetapi makna dan spirit hijrah harus tetap tertanam dalam hati dan jiwa kaum muslimin. Oleh karena itu, makna hijrah hendaknya tidak hanya dipahami secara harfiyah semata (pindah dari suatu tempat ke tempat lain), tetapi harus juga dimaknai dari sudut Maknawiyah dalam pengertian seperti yang telah dikemukakan.
Kita harus hijrah dari keterbelakangan berpikir kepada pola pikir yang lebih maju, namun tetap dalam kerangka Islami. Kita harus hijrah dari dekadensi moral kepada akhlak mulia. Hijrah dari tindakan-tindakan yang emosional kepada kearifan dan kebijaksanaan. Hijrah dari sikap bermusuhan kepada saling menyayangi dan mengasihi. Hijrah dari malas beribadah kepada kesungguhan beribadah dan lain-lain makna hijrah yang mengarah kepada nilai-nilai kebajikan.
Semoga semangat hijrah ini dapat bersemayam dihati kita semua.
امـِـيْــنَ يَـا رَبَّ الـْعـَالـَمِـيْـنَ

Menyambut Tahun 1434 H


AWAL PENETAPAN TAHUN HIJRIYAH
( Dalam Rangka Menyambut Tahun Baru 1434 H )
Drs. H. Khairul Akmal Rangkuti
Sejak zaman jahiliayah sampai masa kekhalifahan Abu Bakar As-Siddiq penetapan hitungan tahun belum ada ketentuan. Adapun penetapan tahun pada masa itu selalu dikaitkan kepada peristiwa yang terjadi pada masa itu atau peristiwa yang mudah untuk mereka ingat. Misalnya, Nabi Muhammad dilahirkan pada tanggal 12 Rabiul awal tahun Gajah. Mereka sebut tahun Gajah, sebab tepat pada hari kelahiran Nabi Muhammad peristiwa Tentara bergajah yang dikerahkan Abrahah untuk menghancurkan Ka’bah terjadi pada saat itu, maka mereka sebut tahun itu dengan tahun Gajah.
Adapun penetapan tahun hijriyah menjadi ketetapan hitungan tahun untuk ummat Islam ditetapkan pada masa Khalifah Umar Bin Khattab. Tercatat dalam sejarah bahwa Umar Bin Khattab mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dalam menentukan hitungan tahun yang akan dijadikan hitungan tahun bagi ummat Islam. Adapun yang menjadi persoalan bagi mereka pada saat itu, dari mana menentukan hitungan tahun pertama yang dapat dijadikan ketentuan.
Diantara sahabat ada yang mengusulkan hitungan tahun satu dimulai dari tahun kelahiran Nabi Muhammad. Ada yang mengusulkan sejak Nabi Muhammad menerima wahyu yang pertama dan ada pula yang mengusulkan sejak Nabi Muhammad mengalami peristiwa Isra’ Mi’raj. Namun semua usulan tersebut tidak menarik perhatian Umar Bin Khattab.
Dalam suasana musyawarah tersebut, Ali Bin Abi Thalib mengusulkan tahun satu bagi Ummat Islam dihitung sejak peristiwa Hijrahnya Rasul ke Madinah. Dasar pertimbangannya adalah bahwa peristiwa Hijrah tersebut sangat mempunyai makna yang penting terhadap perkembangan ummat Islam. Diantaranya, sejak Rasul dan para sahabat Hijrah ke Madinah, ummat Islam dapat berdakwah lebih gencar dan tidak lagi dipandang sebelah mata oleh orang-orang kafir.
Di sisi lain posisi Nabi Muhammad sejak Hijrah ke Madinah tidak hanya sebagai seorang Nabi, tetapi Nabi Muhammad sekaligus menjadi seorang pimpinan Negara, sebab setelah Nabi Muhammad berada di Madinah Daulah Islamiyah terbentuk. Maka berdasarkan pertimbangan tersebut Ali Bin Abi Thalib mengusulkan peristiwa hijrah tersebut ditetapkan sebagai tahun satu bagi ummat Islam.
Usulan Ali Bin Abi Thalib dengan segenap alasan-alasan yang sangat mendasar tersebut maka Umar bin Khattab menerima usulan tersebut, dan dikarenakan penentuan tahun ini diambil dari peristiwa Hijrahnya Rasul maka hitungan tahun tersebut dinamakan hitungan tahun Hijriyah. Adapun ketentuan tahun Hijriyah ini ditetapkan pada tahun ke empat masa kekhalifahan Umar Bin Khattab, tepatnya hari senin tanggal 8 Rabiul Awal tahun ke 17 H. / 30 Maret 638 M.
Adapun penentuan nama-nama bulan yang ada, sebenarnya masyarakat Arab jahiliyah jauh sebelum Nabi Muhammad dilahirkan sudah mengenal nama-nama bulan dan mereka memberi nama-nama bulan tersebut sesuai dengan keadaan dan kondisi serta tradisi yang berkembang dalam kehidupan mereka. Nama-nama bulan berikut dengan sebab penamaannya adalah sebagai berikut :
  1. Muharram : Mereka sebut bulan Muharram karena bulan ini adalah bulan yang dihormati atau bulan pantangan bagi masyarakat Arab untuk berperang. Kebiasaan suku-suku yang ada pada masa itu selalu berperang antara satu dengan lainnya, namun apabila bulan Muharram datang mereka sama-sama menghormati bulan tersebut dan dengan sendirinya terjadi gencatan senjata diantara mereka walaupun peperangan diantara mereka sedang berkecamuk.
  2. Shafar : Shafar artinya kosong, mereka menyebut bulan ini kosong karena pada bulan ini kaum laki-laki pada umumnya pergi keluar kota untuk berdagang atau berperang, karena itu kampung mereka kosong dari kaum laki-laki.
  3. Rabi’ Al-awal : Rabi’ artinya menetap, yaitu bulan pertama para laki-laki menetap di kampung halaman setelah bepergian.
  4. Rabi’ as-Sani /Al-akhir : Bulan ke dua untuk menetap bagi kaum laki-laki.
  5. Jumadil Awal : Jumadi artinya kering, maksudnya mulai datang musim kering untuk bulan yang pertama.
  6. Jumadil Tsani / Akhir : Yaitu, musim kering untuk bulan yang ke dua.
  7. Rajab : Artinya Mulia, Bangsa Arab sejak zaman dahulu sangat memuliakan bulan ini, dan mereka juga melakukan gencatan senjata manakala sedang berkecamuk peperangan antara sesama mereka.
  8. Sya’ban : Artinya berkelompok, maksudnya pada bulan ini bangsa Arab berangkat untuk berdagang mencari nafkah dalam keadaan berkelompok-kelompok, disebut juga kafilah-kafilah dalam perdagangan.
  9. Ramadhan : Artinya sangat panas. Mereka namakan bulan ini dengan Ramadhan karena pada bulan ini adalah puncaknya musim panas.
  10. Syawal : Artinya. Kebahagiaan. Mereka namakan bulan ini bulan Syawal karena mereka sangat bergembira setalah melalui bulan musim panas.
  11. Dzulqaidah : Artinya, Pemilik tempat duduk. Maksudnya pada bulan ini bagi orang-orang Arab saat itu menggunakan bulan ini untuk istirahat dengan keluarga, atau boleh juga disebut dengan bulan untuk duduk santai bersama keluarga.
  12. Dzulhijjah : Artinya bulan Haji. Pada dasarnya orang-orang yang ada di Jazirah Arabiyah pada waktu itu biasa datang ke Makkah untuk menunaikan Haji. Adapun perintah Haji yang mereka laksanakan adalah mengikut perintah haji dari Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad, sebab syari’at ibadah haji bagi Nabi-Nabi yang terdahulu juga sebenarnya sudah ada.