Rabu, 14 September 2011

Tujuan Halal Bihalal

Arah yang Dituju Halal Bihalal
Enam kali kata halal terulang di dalam Al-Qur’an. Dua di antaranya dalam konteks kecaman, sedangkan empat sisanya berkaitan dengan perintah “makan”, dan disifati oleh kata Thayyibah, yang berarti “baik” atau “menyenangkan”.
Kata “makan” merupakan lambang dari segala aktivitas manusia, begitu penggunaan Al-Qur’an, sehingga keempat ayat di atas, seakan-akan berpesan, “Lakukan segala aktivitasmu berdasarkan yang halal tetapi halal yang thayyibah (baik dan menyenangkan).
Memang, dalam ajaran agama, istilah halal mencakup empat hal, yaitu wajib, sunnah (dianjurkan), makruh (tidak disukai), dan mubah (boleh-boleh saja). Halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq (pemutusan hubungan suami-istri), demikian sabda Rasul. Kalau demikian, wajar jika yang dianjurkan oleh Al-Qur’an adalah “halal yang thayyib”.
Al-Qur’an menegaskan cinta Allah terhadap mereka yang memiliki sifat-sifat tertentu sebanyak 18 kali. Hanya sekali penegasan penegasan itu ditujukan kepada orang yang sabar, bertobat, dan menyusun satu barisan. Sementara itu, kepada orang yang bertawakkal dua kali dan kepada yang berlaku adil dan yang bertakwa tiga kali, tetapi diulanginya sebanyak lima kali terhadap mereka yang memiliki sifat ihsan – satu sifat yang menjadikan pemiliknya memperlakukan pihak lain dengan baik meskipun pihak lain itu memperlakukannya dengan buruk.
Ketika Mistah yang dibiayai hidupnya oleh Abu Bakar r.a, ikut menyebarluaskan gosip yang menyangkut kehormatan Aisyah, putri Abu Bakar r.a. dan sekaligus istri Nabi saw., Abu Bakar bersumpah untuk tidak membiayainya lagi. Tetapi Al-Qur’an melarang Abu Bakar sambil menganjurkan untuk melakukan Al-afwu dan Al-shafhu (QS 24:22).
Al-afwu yang kemudian diindonesiakan dengan “maaf”, berarti “menghapus” karena yang memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Sedangkan Al-shafhu berarti “kelapangan” dan darinya dapat dibentuk kata shafhat yang berarti “lembaran”, serta mushafahat yang berarti “berjabat tangan”. Seseorang yang melakukan Al-shafhu seperti anjuran ayat di atas, dituntut untuk melapangkan dadanya sehingga mampu menampung segala ketersinggungan serta dapat pula menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.
Al-shafhu yang digambarkan dalam bentuk berjabat tangan itu, tulis Al-Raghib Al-Isfahany, lebih tinggi nilainya daripada memaafkan. Bukankah masih mungkin ada satu-dua titik yang sulit bersih pada lembaran yang salah, walaupun kesalahannya telah dihapuskan?. Karenanya, bukalah lembaran baru, tutup lembaran lama, dan wujudkan sikap ihsan. Inilah hal-hal yang paling disukai Allah, dan karenanya pula para agamawan berpesan: “Jika ada yang memaki Anda, janganlah makiannya Anda balas, tapi berkatalah, “Jika makian Anda benar, saya bermohon semoga Allah mengampuniku; dan jika keliru, maka semoga Allah mengampuni Anda”.
Yang demikian itulah “halal yang thayyib” dan kesanalah arah yang seharusnya dituju oleh halal bihalal.
Sumber: Quraish Shihab - Lentera Hati.