Jumat, 24 Agustus 2012

Keshalihan Individu Dan Keshalihan Sosial


Halal Bihalal; Antara Keshalihan Individu Dan Keshalihan Sosial
Idul Fitri diambil dari bahasa arab yang diartikan kembali kepada fitrah atau kepada kesucian. Seolah-olah ummat islam yang benar-benar melakukan ibadah pada bulan Ramadhan seperti dilahirkan kembali, tanpa dosa dan seperti secarik kertas yang belum bertuliskan sesuatu.
Budaya saling mema’afkan di bulan syawal ini lebih populer dengat sebutan kata “Halal Bihalal”. Fenomena ini adalah fenomena yang menjadi tradisi di negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah bagian dari refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang.
Dalam pengertian yang umum, “Halal Bihalal”adalah acara berma’af-mema’afan pada hari Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil mengendalikan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa dan beramal ibadah selama bulan Ramadhan yang dilandasi dengan iman kepada Allah SWT.
Aktivitas selama bulan Ramadhan selalu mendorong seorang hamba untuk melakukan ibadah. Ibadah yang dimaksud tidak hanya dilakukan secara vertikal kepada sang Khalik. Tetapi, Umat Islam juga dididik untuk selalu beribadah secara horizontal dengan melakukan nilai-nilai kebaikan kepada sesama manusia. Karena itu, selama Ramadhan, Umat Islam dilatih untuk selalu menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Ramadan penuh dengan pesan etika keshalehan sosial yang sangat tinggi, seperti pengendalian diri, disiplin, kejujuran, kesabaran, solidaritas sosial dan saling tolong-menolong. Ini merupakan sebuah potret yang mengarah kepada eratnya keshalihan individu dengan keshalihan sosial.
Dalam hal keshalihan sosial ini, ada baiknya kita menulusuri kembali tentang kisah yang terjadi pada masa kehalifahan Umar Bin Khattab.
Dikisahkan………………..! Pada suatu malam, Umar mengajak pembantunya berkeliling kota. Semua rumah gelap menandakan penghuninya sudah tidur. Ada satu rumah yang pintunya masih terbuka sedikit, karena tertarik, Umar mendatanginya. Ternyata ada tangisan seorang anak yang suaranya hampir habis karena kelelahan.
Mengapa anak itu menangis terus, apakah dia sakit? Tanya Umar Bin Khattab. Ibu anak itu menjawab, “Tidak, dia menangis karena kelaparan.” Karena tidak ada sedikit makananpun yang dapat kami santap.
Umar melihat di dalam ada tungku yang menyala, di atasnya ada kuali yang menandakan si ibu sedang memasak.  Apa yang sedang ibu masak? Tanya Umar kembali. Si ibu mempersilahkan tamu yang tak dikenalnya itu untuk melihat sendiri apa isinya.
Betapa terpananya Umar ketika melihat isi kuali itu adalah batu. “Mengapa ibu merebus batu?” Tanya Umar.
Ibu itu menjawab, “Supaya anak saya melihat ibunya sedang memasak dan saya berharap menunggu-nunggu masakan saya selesai dia bisa berhenti menangis dan tertidur. Itu yang dapat saya lakukan tuan.”
Umar terharu mendengarnya. Matanya tertunduk dan berkaca-kaca sebagai pertanda umar menangis karena menyadari kelalaiannya sebagai pemimpin.
Saat itu pembantu Umar mengatakan, “Apakah ibu tidak tahu di Madinah ada Amirul Mukminin tempat ibu dapat mengadukan keadaan ibu untuk mendapatkan pertolongannya?”
Langsung Ibu itu menjawab, “Andai di kota ini ada seorang Khalifah, maka dialah yang seharusnya datang kepada kami untuk melihat nasib kami, rakyatnya yang kelaparan.”
Mendengar ucapan itu Umar Bin Khattab langsung lemas dan bergegas pergi mengajak pembantunya mengambil sekarung gandum. Umar pun memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya yang sedang kelaparan.
Kisah itu menggambarkan betapa kokohnya kehidupan spiritual seorang pemimpin yang bernama Umar Bin Khattab. Dan sikap hidup rakyat jelata yang miskin tetapi memelihara prinsip untuk menjaga kehormatan dirinya dari sikap meminta-minta. Di sisi lain, ada kekuatan spiritual seorang pemimpin yang menyadari dan menyesali kelalaiannya dalam melayani rakyatnya.
Sebagai umat Islam yang hidup di zaman modern, kita berharap agar nilai-nilai yang dicontohkan Khalifah Umar Bin Khattab dapat dijalankan oleh para pemimpin di negeri Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Kita juga berharap, siapapun yang menjadi pemimpin umat, dapat memberikan pelayanan kepada rakyat, khususnya rakyat yang tengah dilanda kesusahan dan kelaparan. Dengan berpuasa, kita berharap dapat meningkatkan rasa kepekaan terhadap kondisi social dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Sebagai manifestasi dari keshalehan individu dan sosial, ibadah puasa dipandang menjadi sangat penting ketika hikmah pelaksanaan puasa itu mampu menciptakan kondisi kondusif untuk terjadinya perubahan demi terciptanya masyarakat yang toleran, dinamis dan beradab. Dan, orang yang mampu menciptakan masyarakat seperti itu tentu kepribadiannya sudah mendekati ambang batas puasa yang ideal.
Nilai-nilai kemanusiaan yang tercipta selama bulan Ramadhan, tentu merupakan bukti alangkah besarnya kepedulian Allah terhadap problematika sosial. Allah tidak hanya peduli terhadap keshalihan individu, tapi juga kepada keshalihan sosial, sehingga Allah dan nabiNya menggantungkan keabsahan keshalihan individu kepada keshalihan sosial. Maka tidaklah mengherankan apabila diakhir pelaksanaan ibadah puasa ummat islam diperintahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah sebagai pembuktian bahwa kepedulian sosial sudah terbentuk di hati ummat melalui hikmah ibadah puasa. Kemudian diharapkan hal ini tidak hanya berlangsung pada bulan Ramadhan belaka tetapi hendaknya sebelas bulan ke depan suasana seperti ini tetap mewarnai kehidupan ummat.
امـِـيْــنَ يَـا رَبَّ الـْعـَالـَمِـيْـنَ