Senin, 02 September 2013

Pesan Untuk Jama’ah Calon Haji


Pesan Untuk Jama’ah Calon Haji
Jama’ah calon haji untuk tahun 1434 H ini, tentu sudah bersiap-siap untuk berangkat ke tanah suci. Kloter I untuk jama’ah calon haji asal Sumatera Utara akan diberangkatkan pada tanggal 10 September 2013. Bagi jama’ah yang akan berangkat tentunya sudah mempersiapkan diri untuk menunaikan ibadah haji ini, baik persiapan secara fisik maupun pengetahuan yang berkenaan dengan manasik haji.
Tentu setiap jama’ah yang akan menunaikan ibadah haji menginginkan ibadah haji yang dilaksanakan memperoleh haji yang mabrur atau haji yang diterima Allah SWT. Untuk mendapatkan haji yang mabrur  tentunya amat berat, harus menjaga kesempurnaan ibadah haji tersebut, baik dari syarat, rukun dan wajib haji. Semua itu tentunya harus dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah semata. Karena itu, setiap jama’ah seharusnya menghindarkan diri dari kesalahan-kesalahan dalam melaksanakan ibadah haji, baik kesalahan dalam memahami ibadah haji maupun kesalahan dalam pelaksanaannya.  
Dalam kesempatan ini Penulis akan mengemukakan beberapa catatan tentang kesalahan-kesalahan jama’ah haji dalam melaksanakan ibadahnya. Hal ini penulis rangkum dari kitab yang diterbitkan oleh Badan Penerangan Haji yang disahkan oleh Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa, oleh Ulama besar Timur Tengah yaitu, Syeikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin.
Kesalahan-kesalahan yang dimaksud antara lain adalah:
Pertama:  Kesalahan Dalam Ihram.
Melewati Miqot yang dilaluinya tanpa berihram atau berniat dari Miqot tersebut sehingga sampai ke Makkah, kemudian ia melakukan ihram di sana. Hal ini bertentangan dengan perintah Rasulullah SAW. yang mewajibkan setiap jama’ah haji harus melakukan ihram dari Miqot yang dilaluinya. Maka bagi yang melanggar ketentuan tersebut bila memungkinkan wajib kembali ke Miqot yang sudah dilaluinya dan berihram dari sana. Jika tidak memungkinkan, ia wajib membayar kifarat, yaitu menyembelih seekor kambing di Makkah, kemudian dagingnya dibagi-bagikan semuanya kepada fakir miskin. Ketentuan ini berlaku bagi jama’ah yang datang melalui udara, darat maupun laut. Jika kedatangannya tidak melalui Miqot yang sudah ditentukan oleh Rasulullah, maka ia harus berihram dari tempat yang sejajar dengan Miqot pertama yang dilaluinya.  
Kedua:  Kesalahan Dalam Pelaksanaan Thawaf.
  1. Memulai thawaf tidak dari sudut Hajar Aswad, padahal ketentuan dalam pelaksanaan thawaf haruslah dimulai dari sudut Hajar Aswad.
  2. Thawaf di dalam Hijir Ismail. Thawaf seperti itu berarti ia tidak mengelilingi seluruh Ka’bah, tetapi hanya sebagiannya saja, karena Hijir Ismail termasuk bagian dari Ka’bah. Oleh sebab itu putaran thawaf yang dilaksanakannya di dalam Hijir Ismail tersebut tidak sah. 
  3. Melakukan Ramal ( berlari-lari kecil ) pada seluruh putaran thawaf yang tujuh kali, padahal Ramal itu hanya dilakukan khusus pada thawaf Qudum saja. Bagi jama’ah yang melaksanakan haji Tamattu’ tentu tidak ada thawaf Qudum. 
  4. Berdesak-desakan untuk dapat mencium Hajar Aswad, bahkan terkadang sampai saling sikut, saling pukul  dan saling caci. Hal itu tidak dibenarkan, bahkan kalau sudah terjadi saling sikut, saling pukul dan saling caci, itu berarti jama’ah haji sudah melakukan pelanggaran yang dilarang dalam pelaksanaan ibadah haji, yaitu jidal. Penulis ingin menegaskan kepada jama’ah calon haji, bahwa mencium Hajar Aswad hukumnya adalah sunnat. Karena itu, jangan dikarenakan ingin mendapatkan pahala yang sunnat, justru perbuatan yang haram dan dosa yang didapatkan.
  5. Mengusap-usap Hajar Aswad dan dinding-dinding Ka’bah  dengan maksud untuk mendapatkan berokah dari batu dan dinding Ka’bah tersebut. Kalaupun ada kesempatan untuk mencium Hajar Aswad tujuannya tidak lain adalah dengan niat ibadah kepada Allah swt. 
  6. Memandang wajib membaca do’a-do’a khusus untuk setiap putaran dalam thawaf, hal itu tidak dilakukan Rasulullah, apalagi membaca do’a tersebut dengan mengeluarkan suara yang keras dan dapat mengganggu ketenangan orang lain dalam melakukan thawaf. Adapun yang dilakukan Rasul adalah setiap melewati Hajar Aswad adalah bertakbir, dan diantara rukun Yamani dan Hajar Aswad Rasulullah membaca do’a:
" رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ". Artinya: “ Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka“. 
  1. Memaksakan diri untuk melaksanakan shalat di dekat Maqom Ibrahim, hal ini dapat mengganggu orang lain dalam melaksanakan thawaf. Padahal shalat sunnat dua rakaat setelah selesai thawaf apabila tidak memungkinkan dilakukan di dekat Maqom Ibrahim, bisa saja dilaksanakan di tempat lain di sekitarnya atau di dalam Masjidil Haram.
Ketiga:  Kesalahan Dalam Pelaksanaan Sa’i. 
  1. Ada sebagian jama’ah haji ketika naik ke bukit Shafa dan Marwah, mereka menghadap ke Ka’bah sambil mengangkat tangan ke arahnya sewaktu membaca takbir, seolah-olah mereka bertakbir untuk shalat. Yang diajarkan Rasul adalah mengangkat kedua tangan seperti ketika berdo’a. 
  2. Berjalan cepat pada waktu sa’i antara Shafa dan Marwah pada seluruh perjalanan sa’i. Padahal menurut sunnah Rasulullah berjalan cepat itu hanyalah dilakukan antara dua tanda hijau saja, adapun sisanya hanya berjalan biasa saja.
 Keempat:  Kesalahan di Arafah.
  1. Sebagian jama’ah haji ada yang berhenti atau melaksanakan wuquf di luar batas Arafah, dan mereka tetap berada di tempat tersebut hingga terbenam matahari. Kemudian mereka berangkat ke Muzdalifah tanpa wukuf di Arafah. Hal ini adalah kesalahan besar, yang mengakibatkan ibadah haji mereka tidak sah, karena sesungguhnya puncak ibadah haji itu adalah wukuf di Arafah, orang yang tidak wukuf di Arafah tentu hajinya tidak sah.  
  2. Berdesak-desakan untuk naik ke Jabal Rahmah yang banyak menimbulkan mudarat. Padahal disudut manapun selagi masih berada di lingkungan batas Arafah adalah tempat berwukuf.
  3. Ada sebagian jama’ah haji ketika berdo’a menghadap ke Jabal Rahmah, hal tersebut tidak sesuai dengan sunnah, sebab yang di sunnahkan dalam berdo’a adalah menghadap kiblat.
Kelima: Beberapa Kesalahan di Muzdalifah. 
  1. Sebagian jama’ah haji ada yang memahami bahwa untuk melempar jumrah, batu yang digunakan harus diambil di Muzdalifah. Padahal tidak demikian, batu kerikil yang digunakan untuk melempar jumrah tidak musti diambil di Muzdalifah, tetapi boleh juga mengambil batu di Mina.   
  2. Sebagian jama’ah ada pula yang memahami bahwa batu tersebut harus dicuci dengan air, hal itu sebenarnya tidak di syari’atkan.
Keenam: Beberapa Kesalahan Ketika Melontar Jumrah.
  1. Ketika melontar jumrah bila ada jama’ah yang meyakini bahwa dia sedang melempar syaitan, itu adalah suatu kesalahan. Melempar jumrah itu hanya semata-mata melaksanakan satu diantara rangkaian ibadah haji yang niatnya adalah semata-mata ibadah kepada Allah.
  2. Ada jama’ah melontar jumrah dengan sendal, hal itu juga merupakan kesalahan. Yang diwajibkan melontar jumrah adalah dengan batu, dan disunnatkan pula dengan batu yang kecil.
  3. Merupakan kesalahan juga ketika melontar jumrah dengan berdesak-desakan, apalagi saling sikut dan saling menginjak. Yang disyari’atkan adalah agar melontar dengan tenang dan hati-hati, dan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menyakiti orang lain. 
  4. Ada jama’ah yang melontar jumrah dengan melontarkan batu sekaligus, yang disyari’atkan adalah dengan melemparkan batu-batu dengan satu persatu sambil bertakbir setiap lontaran.
  5. Merupakan kesalahan pula apabila ada jama’ah haji dia wakilkan melontar jumrah kepada orang lain karena dirinya tidak mau mengalami kesulitan dalam melontar tersebut, padahal sebenarnya dia mampu dan tidak sakit bahkan tidak ada halangan apa-apa.
Ketujuh:  Kesalahan dalam thawaf wada’.
  1. Sebagian jama’ah ada yang meninggalkan Mina untuk menuju Makkah pada hari nafar ( tanggal 12 atau 13 Dzulhijjah ) sebelum melontar jumrah pada tanggal tersebut, sesampainya di Makkah mereka laksanakan thawaf wada’, kemudian kembali ke Mina untuk melontar jumrah. Setelah selesai melontar, mereka langsung pergi atau pulang menuju negeri masing-masing, dengan demikian akhir perjumpaan mereka adalah dengan jumrah bukan dengan Baitullah, padahal Nabi telah bersabda, Artinya:”Janganlah sekali-sekali seseorang meninggalkan Makkah sebelum mengakhiri perjumpaannya dengan melakukan thawaf di Baitullah”. Maka dari itu thawaf wada’ wajib dilakukan setelah selesai dari semua rangkaian ibadah haji, dan dilakukan beberapa saat akan meninggalkan Makkah. Setelah thawaf wada’ ia tidak lagi menetap di Makkah kecuali untuk sedikit keperluan. 
  2. Sebagian jama’ah pada saat selesai melakukan thawaf wada’ ada yang berjalan mundur sambil menghadapkan wajah ke Ka’bah. Mereka beranggapan bahwa hal itu merupakan penghormatan terhadap Ka’bah. Perbuatan itu adalah kesalahan dan bukan yang diperintahkan Rasul.
Semoga tulisan sederhana ini dapat menambah bekal bagi jama’ah calon haji, dan semoga ibadah haji yang akan dilaksanakan terhindar dari kesalahan-kesalahan. Mudah-mudahan ibadah haji yang dilaksanakan menjadi Haji yang mabrur.

امـِـيْــنَ يَـا رَبَّ الـْعـَالـَمِـيْـنَ
Akhirnya saya ucapkan:
“Selamat Jalan Jama’ah Haji Indonesia, semoga mendapat kemudahan dalam melaksanakan ibadah di Haramain, dan semoga ibadah Haji yang dilaksanakan menjadi Haji yang mabrur. Jangan lupakan menyebutkan nama kami disetiap do’a yang disampaikan”.