Pesan Untuk Jama’ah Calon Haji
Jama’ah calon haji untuk tahun 1434 H ini, tentu sudah bersiap-siap untuk berangkat ke tanah
suci. Kloter I untuk jama’ah calon haji asal Sumatera Utara akan diberangkatkan
pada tanggal 10 September 2013. Bagi jama’ah yang akan berangkat tentunya sudah
mempersiapkan diri untuk menunaikan ibadah haji ini, baik persiapan secara
fisik maupun pengetahuan yang berkenaan dengan manasik haji.
Tentu setiap jama’ah yang akan menunaikan ibadah haji
menginginkan ibadah haji yang dilaksanakan memperoleh haji yang mabrur atau haji yang diterima Allah
SWT. Untuk mendapatkan haji yang mabrur tentunya amat berat, harus menjaga kesempurnaan ibadah haji
tersebut, baik dari syarat, rukun dan wajib haji. Semua itu tentunya harus
dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah semata. Karena itu, setiap
jama’ah seharusnya menghindarkan diri dari kesalahan-kesalahan dalam
melaksanakan ibadah haji, baik kesalahan dalam memahami ibadah haji maupun
kesalahan dalam pelaksanaannya.
Dalam kesempatan ini Penulis akan mengemukakan beberapa
catatan tentang kesalahan-kesalahan jama’ah haji dalam melaksanakan ibadahnya.
Hal ini penulis rangkum dari kitab yang diterbitkan oleh Badan Penerangan Haji
yang disahkan oleh Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa, oleh Ulama besar Timur
Tengah yaitu, Syeikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin.
Kesalahan-kesalahan yang dimaksud antara lain adalah:
Pertama: Kesalahan Dalam Ihram.
Melewati Miqot yang dilaluinya tanpa
berihram atau berniat dari Miqot tersebut sehingga sampai ke
Makkah, kemudian ia melakukan ihram di sana. Hal ini bertentangan dengan
perintah Rasulullah SAW. yang mewajibkan setiap jama’ah haji harus melakukan
ihram dari Miqot yang dilaluinya. Maka bagi yang melanggar
ketentuan tersebut bila memungkinkan wajib kembali ke Miqot yang
sudah dilaluinya dan berihram dari sana. Jika tidak memungkinkan, ia wajib
membayar kifarat, yaitu menyembelih seekor kambing di Makkah, kemudian
dagingnya dibagi-bagikan semuanya kepada fakir miskin. Ketentuan ini berlaku
bagi jama’ah yang datang melalui udara, darat maupun laut. Jika kedatangannya
tidak melalui Miqot yang sudah ditentukan oleh Rasulullah, maka
ia harus berihram dari tempat yang sejajar dengan Miqot pertama
yang dilaluinya.
Kedua: Kesalahan Dalam Pelaksanaan Thawaf.
- Memulai thawaf tidak dari sudut Hajar
Aswad, padahal ketentuan dalam pelaksanaan thawaf haruslah dimulai
dari sudut Hajar Aswad.
- Thawaf di dalam Hijir Ismail.
Thawaf seperti itu berarti ia tidak mengelilingi seluruh Ka’bah, tetapi
hanya sebagiannya saja, karena Hijir Ismail termasuk bagian
dari Ka’bah. Oleh sebab itu putaran thawaf yang dilaksanakannya di dalam Hijir
Ismail tersebut tidak sah.
- Melakukan Ramal (
berlari-lari kecil ) pada seluruh putaran thawaf yang tujuh kali, padahal Ramal
itu hanya dilakukan khusus pada thawaf Qudum saja. Bagi jama’ah yang
melaksanakan haji Tamattu’ tentu tidak ada thawaf Qudum.
- Berdesak-desakan untuk dapat
mencium Hajar Aswad, bahkan terkadang sampai saling sikut,
saling pukul dan saling caci. Hal itu tidak dibenarkan, bahkan kalau
sudah terjadi saling sikut, saling pukul dan saling caci, itu berarti
jama’ah haji sudah melakukan pelanggaran yang dilarang dalam pelaksanaan
ibadah haji, yaitu jidal. Penulis ingin menegaskan kepada
jama’ah calon haji, bahwa mencium Hajar Aswad hukumnya
adalah sunnat. Karena itu, jangan dikarenakan ingin mendapatkan pahala
yang sunnat, justru perbuatan yang haram dan dosa yang didapatkan.
- Mengusap-usap Hajar Aswad dan
dinding-dinding Ka’bah dengan maksud untuk mendapatkan berokah dari
batu dan dinding Ka’bah tersebut. Kalaupun ada kesempatan untuk mencium Hajar
Aswad tujuannya tidak lain adalah dengan niat ibadah kepada Allah
swt.
- Memandang wajib membaca do’a-do’a
khusus untuk setiap putaran dalam thawaf, hal itu tidak dilakukan
Rasulullah, apalagi membaca do’a tersebut dengan mengeluarkan suara yang
keras dan dapat mengganggu ketenangan orang lain dalam melakukan thawaf.
Adapun yang dilakukan Rasul adalah setiap melewati Hajar Aswad
adalah bertakbir, dan diantara rukun Yamani
dan Hajar Aswad Rasulullah membaca do’a:
" رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً
وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ". Artinya: “ Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa
neraka“.
- Memaksakan diri untuk melaksanakan
shalat di dekat Maqom Ibrahim, hal ini dapat mengganggu
orang lain dalam melaksanakan thawaf. Padahal shalat sunnat dua rakaat
setelah selesai thawaf apabila tidak memungkinkan dilakukan di dekat Maqom
Ibrahim, bisa saja dilaksanakan di tempat lain di sekitarnya atau
di dalam Masjidil Haram.
Ketiga: Kesalahan
Dalam Pelaksanaan Sa’i.
- Ada sebagian jama’ah haji ketika
naik ke bukit Shafa dan Marwah, mereka menghadap ke Ka’bah sambil
mengangkat tangan ke arahnya sewaktu membaca takbir, seolah-olah mereka
bertakbir untuk shalat. Yang diajarkan Rasul adalah mengangkat kedua
tangan seperti ketika berdo’a.
- Berjalan cepat pada waktu sa’i
antara Shafa dan Marwah pada seluruh perjalanan sa’i. Padahal menurut
sunnah Rasulullah berjalan cepat itu hanyalah dilakukan antara dua tanda
hijau saja, adapun sisanya hanya berjalan biasa saja.
Keempat:
Kesalahan di Arafah.
- Sebagian jama’ah haji ada yang
berhenti atau melaksanakan wuquf di luar batas Arafah,
dan mereka tetap berada di tempat tersebut hingga terbenam matahari.
Kemudian mereka berangkat ke Muzdalifah tanpa wukuf di
Arafah. Hal ini adalah kesalahan besar, yang mengakibatkan ibadah haji
mereka tidak sah, karena sesungguhnya puncak ibadah haji itu adalah wukuf
di Arafah, orang yang tidak wukuf di Arafah tentu hajinya tidak
sah.
- Berdesak-desakan untuk naik ke Jabal
Rahmah yang banyak menimbulkan mudarat. Padahal disudut manapun
selagi masih berada di lingkungan batas Arafah adalah tempat berwukuf.
- Ada sebagian jama’ah haji ketika
berdo’a menghadap ke Jabal Rahmah, hal tersebut tidak sesuai
dengan sunnah, sebab yang di sunnahkan dalam berdo’a adalah menghadap
kiblat.
Kelima: Beberapa
Kesalahan di Muzdalifah.
- Sebagian jama’ah haji ada yang
memahami bahwa untuk melempar jumrah, batu yang digunakan harus diambil di
Muzdalifah. Padahal tidak demikian, batu kerikil yang
digunakan untuk melempar jumrah tidak musti diambil di Muzdalifah,
tetapi boleh juga mengambil batu di Mina.
- Sebagian jama’ah ada pula yang
memahami bahwa batu tersebut harus dicuci dengan air, hal itu sebenarnya
tidak di syari’atkan.
Keenam: Beberapa
Kesalahan Ketika Melontar Jumrah.
- Ketika melontar jumrah bila ada
jama’ah yang meyakini bahwa dia sedang melempar syaitan, itu adalah suatu
kesalahan. Melempar jumrah itu hanya semata-mata melaksanakan satu
diantara rangkaian ibadah haji yang niatnya adalah semata-mata ibadah
kepada Allah.
- Ada jama’ah melontar jumrah dengan
sendal, hal itu juga merupakan kesalahan. Yang diwajibkan melontar jumrah
adalah dengan batu, dan disunnatkan pula dengan batu yang kecil.
- Merupakan kesalahan juga ketika
melontar jumrah dengan berdesak-desakan, apalagi saling sikut dan saling
menginjak. Yang disyari’atkan adalah agar melontar dengan tenang dan
hati-hati, dan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menyakiti orang
lain.
- Ada jama’ah yang melontar jumrah
dengan melontarkan batu sekaligus, yang disyari’atkan adalah dengan
melemparkan batu-batu dengan satu persatu sambil bertakbir setiap
lontaran.
- Merupakan kesalahan pula apabila
ada jama’ah haji dia wakilkan melontar jumrah kepada orang lain karena
dirinya tidak mau mengalami kesulitan dalam melontar tersebut, padahal
sebenarnya dia mampu dan tidak sakit bahkan tidak ada halangan apa-apa.
Ketujuh: Kesalahan
dalam thawaf wada’.
- Sebagian jama’ah ada yang
meninggalkan Mina untuk menuju Makkah pada
hari nafar ( tanggal 12 atau 13 Dzulhijjah ) sebelum melontar jumrah pada
tanggal tersebut, sesampainya di Makkah mereka laksanakan thawaf
wada’, kemudian kembali ke Mina untuk melontar
jumrah. Setelah selesai melontar, mereka langsung pergi atau pulang menuju
negeri masing-masing, dengan demikian akhir perjumpaan mereka adalah
dengan jumrah bukan dengan Baitullah, padahal
Nabi telah bersabda, Artinya:”Janganlah sekali-sekali seseorang
meninggalkan Makkah sebelum mengakhiri perjumpaannya dengan melakukan
thawaf di Baitullah”. Maka dari itu thawaf wada’ wajib
dilakukan setelah selesai dari semua rangkaian ibadah haji, dan dilakukan
beberapa saat akan meninggalkan Makkah. Setelah thawaf wada’ ia tidak lagi
menetap di Makkah kecuali untuk sedikit keperluan.
- Sebagian jama’ah pada saat selesai
melakukan thawaf wada’ ada yang berjalan mundur sambil menghadapkan wajah
ke Ka’bah. Mereka beranggapan bahwa hal itu merupakan penghormatan
terhadap Ka’bah. Perbuatan itu adalah kesalahan dan bukan yang
diperintahkan Rasul.
Semoga tulisan sederhana
ini dapat menambah bekal bagi jama’ah calon haji, dan semoga ibadah haji yang
akan dilaksanakan terhindar dari kesalahan-kesalahan. Mudah-mudahan ibadah haji
yang dilaksanakan menjadi Haji yang mabrur.
امـِـيْــنَ يَـا رَبَّ الـْعـَالـَمِـيْـنَ
Akhirnya saya
ucapkan:
“Selamat Jalan Jama’ah Haji Indonesia, semoga
mendapat kemudahan dalam melaksanakan ibadah di Haramain, dan semoga ibadah
Haji yang dilaksanakan menjadi Haji yang mabrur. Jangan lupakan menyebutkan
nama kami disetiap do’a yang disampaikan”.