Selasa, 31 Mei 2011

Bekal Bagi Jama’ah Calon Haji Menuju Haramain

Bekal Bagi Jama’ah Calon Haji
Menuju Haramain
( Drs. Khairul Akmal Rangkuti )

وأذن في الناس بالحج يأتوك رجالا وعلى كل ضامر يأتين من كل فج عميق

Artinya : “ Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh “. ( Q. S. Al-Hajj: 27 ).

Ibadah haji adalah salah satu diantara rukun islam yang lima, wajib bagi orang-orang yang mampu untuk berangkat menunaikannya. Kewajiban menunaikan ibadah haji sudah ditentukan tempat dan waktu pelaksanaannya. Adapun tempat pelaksanaannya adalah Makkah Al-Mukarromah, sedangkan waktunya adalah di bulan-bulan haji yaitu, bulan syawal, zulqoidah dan puncaknya adalah dibulan zulhijjah. Untuk itu, setiap jama’ah calon haji harus mempunyai bekal untuk menuju tanah suci tersebut. Adapun bekal yang harus dipersiapkan secara umum ada dua hal.
Pertama: Bekal secara materi. Yaitu, hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan selama dalam perjalanan menunaikan ibadah haji. Seperti, makanan, pakaian, dan lain-lain yang berkenaan dengan ibadah haji tersebut.
Kedua: Bekal secara prilaku dan akhlak. Yaitu, hal-hal yang berkenaan dengan sikap mental prilaku dari jama’ah calon haji yang berkaitan dengan kebaikan dan kesempurnaan ibadah haji yang akan dilaksanakan.
Dari dua katagori bekal yang dikemukakan di atas, yang sangat urgen adalah menyangkut masalah prilaku dan akhlak. Sebab, masalah bekal secara materi pada umumnya jama’ah calon haji yang akan berangkat tentu sudah mempertimbangkan dan mempersiapkan segala sesuatu untuk keberangkatannya. Bahkan, khusus bagi jama’ah calon haji Indonesia, bekal secara materi ini menurut hemat penulis tidaklah menjadi masalah, sebab uang living Cost sebesar 1500,- Riyal/jama’ah, sudah cukup untuk biaya konsumsi dan keperluan lainnya selama dalam perjalanan menunaikan ibadah haji, ( dengan catatan jama’ah calon haji tersebut tidak terlalu royal dalam membelanjakan uangnya ).
Penulis ingin memberikan satu contoh dari pasangan suami-istri yang mereka berdua berangkat menunaikan ibadah haji bersama dengan penulis, bahkan dari KBIH yang sama, yaitu KBIH KODAM I Bukit Barisan. Menurut penuturan mereka, persediaan uang mereka hanya sebatas uang living Cost, itu berarti uang yang ada pada mereka sebesar 3000.- Riyal. Ternyata dengan uang tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka, bahkan mereka bisa membawakan oleh-oleh untuk keluarga, yang menurut hemat penulis oleh-oleh yang mereka bawa tidak terlalu minim. Disisi lain mereka berdua juga tidak menahan-nahan selera makan, sebab penulis tahu persis karena mereka berdua adalah jama’ah penulis sendiri, dan segala sesuatu yang mereka lakukan selama berada dalam pejalanan haji tersebut, mereka selalu bercerita kepada Penulis. Itulah sebabnya penulis sanggup mengatakan dengan uang living Cost sebesar 1500.- Riyal/jama’ah sebenarnya cukup sebagai bekal selama pelaksanaan ibadah haji.
Di atas Penulis telah mengemukakan bahwa bekal yang paling urgen dalam pelaksanaan ibadah haji adalah menyangkut  masalah prilaku dan akhlak. Dalam hal ini para jama’ah calon haji perlu merujuk kepada firman Allah dalam suroh Al-Baqoroh ayat 197 :
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللّهُ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الأَلْبَابِ
Artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal “.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa bagi orang yang melaksanakan ibadah haji dilarang Allah berbuat rafast (Rafats artinya mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh atau bersetubuh ). Kemudian dilarang berbuat fasik, seperti berbohong, mengambil yang bukan miliknya memaki, cakap kotor dan lain-lain. Selanjutnya dilarang berbantah-bantahan, seperti berkelahi, bertengkar apalagi saling memukul dan menyakiti.
Dari tiga larangan di atas, yang selalu nampak jelas adalah “ jidal “, yaitu berkelahi dan bertengkar. Hal ini terjadi terkadang dikarenakan masalah yang sepele, seperti berebut ingin mendapatkan kamar yang dianggap nyaman, berebut masalah tempat duduk di Bis, dan yang paling banyak terjadi adalah berebut untuk mencium Hajar Aswad, bahkan di tempat ini banyak jama’ah yang saling sikut dan saling injak, sehingga ada yang giginya patah, bibirnya pecah dan lain sebagainya.
Saudaraku....................!
Tahukah saudara bekal yang ampuh untuk mengantisipasi hal tersebut.....? Bekal itu adalah “Takwa”. Coba ulang kembali menyimak firman Allah di atas, disana kita temukan kalimat “وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى  “ artinya “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa “. Dari ayat ini kita pahami bahwa Allah ingin memberikan satu tips kepada jama’ah calon haji agar menjadikan takwa sebagai bekal dalam melaksanakan ibadah haji, dan takwa adalah bekal yang terbaik dalam menunaikan haji.
Logikanya adalah, apabila seorang jama’ah mempunyai bekal takwa, tentu segala larangan yang ada dalam pelaksanaan ibadah haji akan mampu ia hindarkan, sebab nilai ketakwaannya yang akan membimbingnya kepada sikap menerima dari ketentuan yang dia hadapi dalam pelaksanaan ibadah haji tersebut.
Apabila ada prilaku orang lain yang dapat menimbulkan emosinya, nilai ketakwaannya jualah yang membuat hatinya untuk bersabar. Kalaupun ada sikap-sikap dan prilaku jama’ah yang ia nilai sudah melampawi batas sehingga dia harus meluruskan sikap dan prilaku orang tersebut, nilai takwanya jualah yang mengarahkannya untuk menasehati orang tersebut dengan bahasa yang santun dan penuh kebijaksanaan tanpa menimbulkan komplin antara satu dengan lainnya.
Apabila setiap jama’ah memiliki bekal takwa ini, maka ibadah haji yang akan dilaksanakan tentu terhindar dari hal-hal yang merusak nilai-nilai haji itu sendiri. Maka status ibadah haji yang        “ mabrur “ pun berpeluang untuk di dapatkan.
Saudaraku....................!
Ketahuilah.........! Bahwa untuk mendapatkan haji yang “ mabrur “  itu sesungguhnya amat berat, karena itu, wahai saudaraku.............! Hindarilah, walau sekecil apa pun yang dapat merusak nilai-nilai ibadah haji yang akan saudara laksanakan.
Wahai saudaraku.............!
Tidak kalah pentingnya yang perlu disadari, setelah pulang pun masih ada hal yang perlu untuk dijaga agar kita tidak riya’ setelah menunaikan ibadah haji.
Ketahuilah..............!
Gelang haji yang tetap melingkar ditangan, apabila tetap anda pakai dengan tujuan agar orang lain tahu bahwa anda adalah seorang yang sudah haji, itu pun bahagian dari sifat riya’ dan pamer yang dapat merusak nilai ibadah haji.
Sorban yang melilit di kepala, apabila anda kenakan dengan tujuan agar orang lain tahu bahwa anda adalah seorang yang sudah haji, itu pun bahagian dari sifat riya’ dan pamer yang dapat merusak nilai ibadah haji .
Manusia barangkali dapat berkilah, Saya mengenakannya tidak ada tujuan apa-apa dan bukan dikarenaka riya’. Al-hamdulillah kalau benar memang itu yang ada dalam hatinya. Tapi ketahuilah bahwa, sekecil apapun gerak hati yang ada di dalam diri kita, sesungguhnya Allah maha mengetahuinya.
Kemudian saudaraku............!
Setelah anda pulang haji nanti, jangan pernah tergores apalagi tersinggung di hati apabila seseorang menulis atau menyebutkan nama saudara tidak menyertakan sebutan atau tulisan haji. Menyikapi itu tidak lain adalah, apabila disebutkan orang bahwa kita adalah seorang yang sudah haji, bersyukurlah atas karunia Allah yang telah memberikan kesempatan kepada kita menunaikan ibadah haji. Namun apabila tidak disebutkan orang haji kita, janganlah ada rasa kecewa, mungkin itu lebih baik bagi kita agar kita terhindar dari sifat riya’.
Ukuran haji itu tidak terletak pada simbol-simbol yang ada, tapi terletak pada sikap untuk lebih menghiasi diri dengan bertaqorrub/mendekatkan diri kepada Allah.
Memang terkadang kondisi dan kebiasaan yang ada di masyarakat yang menjadikan seorang yang sudah melaksanakan haji terikat dengan simbol-simbol yang ada. Untuk itu pandai-pandailah memposisikan diri setelah kita nanti pulang melaksanakan haji.
Penulis sendiri pernah tersentak pada saat setelah pulang menunaikan ibadah haji dan aktif kembali memberikan ceramah di majlis-majlis ta’lim. Di beberapa majlis ta’lim ada jama’ah yang berucap, katanya kepada saya :
“ Pak Ustaz, yang kami bayangkan hari pertama ustaz memberi tausiyah di majlis kami ini setelah pulang menunaikan ibadah haji, ustaz datang dengan pakaian kebesaran haji. ( Maksudnya, mereka membayangkan saya mengenakan pakaian jubah dan sorban melilit di kepala )”.
Saat itu penulis sampaikan kepada mereka, wahai jama’ah sekalian, pakaian seperti yang jama’ah bayangkan itu hanyalah simbol-simbol semata, tidak salah orang memakainya apabila ia mampu menjaga hatinya, adapun saya, saya khawatir tidak mampu menjaga hati saya. Untuk itu saya katakan kepada mereka, tolong doakan saya agar saya bisa menjaga nilai-nilai haji yang sudah saya laksanakan.
Saudaraku...................!
Demikianlah sekelumit uraian sebagai tambahan bekal bagi jama’ah calon haji untuk menuju tanah Haromain. Saya berdo’a, semoga ibadah haji yang akan saudara laksanakan khususnya bagi jama’ah calon haji yang akan menunaikan haji pada tahun 1432 H/2011M ini menjadi haji yang mabrur. امـِـيْــنَ يَـا رَبَّ الـْعـَالـَمِـيْـنَ
Harapanku kepada Saudaraku yang akan menunaikan haji:
“ Masukkanlah namaku dalam setiap do’a yang anda mohonkan kepada Allah dari setiap kebaikan yang anda pinta. Untuk itu terima kasih saya ucapkan.