Selasa, 07 Juni 2011

Naghom / Irama Dalam Membaca Al-Qur’an


Naghom / Irama Dalam Membaca Al-Qur’an
Kata Naghom secara etimologi paralel dengan kata ghina yang bermakna lagu atau irama. Secara terminologi Naghom dimaknai sebagai membaca Al Qur’an dengan irama (seni), atau suara yang indah dan merdu, atau melagukan Al Qur’an secara baik dan benar tanpa melanggar aturan-aturan bacaan.  
Keberadaan ilmu Naghom, tidak sekedar realisasi dari firman Allah dalam suroh Al Muzzammil ayat 4 “وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً ………. “ ” Bacalah Al Qur’an itu secara tartil ”, akan tetapi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari eksistensi manusia sebagai makhluk yang berbudaya yang memiliki cipta, rasa, dan karsa. Rasa yang melahirkan seni (termasuk Naghom) merupakan bagian integral kehidupan manusia yang didorong oleh adanya daya kemauan dalam dirinya. Kemauan rasa itu sendiri timbul karena didorong oleh karsa rohaniah dan pikiran manusia.
Naghom merupakan salah satu dari sekian ekspresi seni yang menjadi bagian integral hidup manusia. Bahkan Naghom ini telah tumbuh sejak lama. Ibnu Manzur menyatakan bahwa ada dua teori tentang asal mula munculnya Naghom Al Quran.   Pertama: Naghom Al-Qur’an berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Kedua: Naghom terinspirasi dari nyanyian orang-orang kafir yang menjadi tawanan perang.
Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu Al Qur’an berasal dari khazanah tradisional Arab (tentu saja berbau padang pasir). Dengan teori ini pula ditegaskan bahwa lagu-lagu Al-Quran idealnya bernuansa irama Arab. Karena itu tidak bisa Naghom Al-Qur’an itu di pribumisasikan, seperti menggunakan langgam lagu es lilin, dendang gulo atau irama dangdut.
Meski kedua teori tersebut hampir benar adanya tapi tetap saja muncul permasalahan. Jika memang benar Naghom Al-Qur’an berasal dari seni Arab lalu siapakah yang pertama kali mengkonversikannya untuk lagu Al Qur’an ? Sampai di sini ada ketidak jelasan. Dan lagi, jika memang benar informasi Al Qur’an berasal dari nyanyian, tentu dapat direpresentasikan dalam not balok atau oktaf tangga nada. Tapi kenyataannya tidaklah demikian, Naghom Al Qur’an sangat sulit ditransfer ke dalam notasi angka atau nada. Dan karena sifat eksklusifisme inilah kemudian yang “memaksa” bahwa metode sima’I dan talaqqi, merupakan satu-satunya cara dalam mentransmisikan lagu-lagu Al Qur’an.
Pada zamannya Rasulullah SAW adalah seorang Qari’ yang membaca Al Qur’an dengan suara indah dan merdu. Abdullah bin Mughaffal pernah mengilustrsikan suara Rasulullah dengan terperanjatnya unta yang ditunggangi Nabi ketika Nabi melantunkan suroh Al Fath. Para sahabat juga memiliki minat yang besar terhadap ilmu Naghom ini.
Sejarah mencatat sejumlah sahabat yang berpredikat sebagai Qari’, diantaranya adalah : Abdullah Ibnu Mas’ud dan Abu Musa Al Asy’ari. Pada periode tabi’in, tercatat Umar bin Abdul Aziz dan Safir Al Lusi sebagai Qari’ kenamaan. Sedangkan periode tabi’ tabi’in dikenal nama Abdullah bin Ali bin Abdillah Al Baghdadi dan Khalid bin Usman bin Abdurrahman.
Kendati di masa awal Islam sudah tumbuh lagu-lagu Al Qur’an, namun perkembangannya tidak bisa dilacak karena tidak ada bukti yang dapat dikaji. Hal ini dimungkinkan karena pada saat itu belum ada alat perekam suara. Transformasi seni baca Al Qur’an berlangsung secara sederhana dan turun temurun dari generasi ke generasi.
Dalam sejarah juga tidak tercatat perkembangan pasca tabi’in. Apresiasi terhadap seni Al Qur’an semakin tenggelam seiring dengan semakin maraknya umat Islam melakukan olah akal (berfilsafat), olah batin (tasawwuf), dan olah laku ibadah (fiqh). Selain itu, yang paling mendasar menyangkut dengan Naghom Al-Qur’an ini, dibutuhkan kemampuan khusus untuk masuk dalam kualifikasi Qari’, terumata menyangkut modal suara. Modal ini lebih merupakan hak periogratif Allah untuk diberikan kepada yang dikehendaki-Nya.
Pada abad ke-20, lagu-lagu Al-Qur’an mulai masuk dan berkembang di Indonesia. Transmisi lagu-lagu tersebut dilakukan oleh ulama-ulama yang mengkaji ilmu-ilmu agama di Timur Tengah, kemudian pulang ke tanah air untuk mengembangkan ilmunya, termasuk seni baca Al Quran.
Ditinjau dari penerapan Naghom Al-Qur’an ini, ada dua versi yang berkembang, yaitu versi Makkawi dan versi Mishri.
Lagu versi Makkawi sangat digandrungi di awal perkembangannya di Indonesia, karena liriknya yang sangat sederhana dan relatif datar. Lagu Makkawi mewujud dalam barzanji. Beberapa Qari’ yang menjadi eksponen aliran ini adalah : KH Arwani, KH Sya’roni, KH Munawwir, KH Abdul Qadir, KH Damanhuri, KH Saleh Ma’mun, KH Muntaha, dan KH Azra’i Abdurrauf.
Memasuki paruh abad 20, seiring dengan eksebisi Qari’ Mesir ke Indonesia, mulai marak perkembangan lagu versi Mishri. Pada tahun 60-an pemerintah Mesir mensuplai sejumlah maestro Qari’ seperti, Syeikh Abdul Basith Abdus Shomad, Syeikh Musthofa Ismail, Syeikh Mahmud Kholil Al Hushori, dan Syeikh Abdul Qadir Abdul Azim. Animo dan atensi umat Islam Indonesia terhadap lagu-lagu Mishri demikian tinggi. Hal ini disebabkan karakter lagu Mishri yang lebih dinamis dan merdu. Keadaan ini cocok dengan kondisi alam Indonesia.
Sejumlah qari’ yang menjadi elaboran lagu Mishri ini adalah : KH Bashori Alwi, KH Mukhtar Lutfi, KH Aziz Muslim, KH Mansur Ma’mun, KH Muhammad Assiry, dan KH Ahmad Syahid.
Seni baca Al Quran baru menampakkan geliatnya pada awal abad 20 M yang berpusat di Makkah dan Madinah serta di Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim yang sangat aktif mentransfer ilmu-ilmu agama (termasuk Naghom) Al-Qur’an.
Hingga hari ini Makkah dan Mesir merupakan kiblat Naghom se-dunia. Masing-masing kiblat memiliki karakteristik tersendiri. Dalam versi Makkawi dikenal lagu Banjakah, Hijaz, Mayya, rakby, Jiharkah, Sikah, dan Dukkah. Sementara pada versi Mishri dikenal lagu Bayyati, Hijaz, Shoba, Rashd, Jiharkah, Sikah, dan Nahawand.
Nagham ini bisa dikembangkan dengan bermacam variasi, yang dikembangkan dengan banyak mendengarkan bacaan Syekh Musthofa Ismail, Syekh Musthofa Gholwasy  dan lainnya, dan juga dengan banyak mendengarkan lagu-lagu padang pasir dari sumber aslinya, seperti lagu-lagu Ummi Kultsum, Muhammad Abdul Wahhab dan lannya. Kita dapat mengembangkan sendiri dan bisa juga dengan memasukkan irama lainya yang munasabah(sesuai) dengan Naghom - Naghom tersebut.
Berkenaan dengan Naghom Al-Qur’an tersebut, ada hal yang saya tidak sependapat dengan pandangan sebagian Qori-Qori’ah saat ini. Banyak diantara Qori’-Qori’ah yang salah dalam memandang tentang lagu-lagu Al-Qur’an. Saya sering mendengar seseorang berkomentar setelah mendengar seorang Qori’ atau Qori’ah membaca Al-Qur’an, diantara mereka ada yang berkomentar, wah bacanya bagus, lagunya banyak lagu-lagu yang baru. Dalam hal ini saya merasa perlu mengomentarinya. lagu-lagu Al-Qur’an itu tidak ada yang baru, sebab lagu-lagu Al-Qur’an itu sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Oleh sebab itu, tidak ada istilah lagu baru, yang ada adalah variasi baru.
http://www.topblogarea.com/rss/Quran.htm ( Dengan penambahan dan pengurangan keterangan yang dipandng perlu).