Jumat, 14 September 2012

Mimbar Jum;at

Ilmu dan Kebahagiaan
Dalam kondisi bagaimanapun hendaklah kita “menyenangkan hati”. Pada saat anda kaya, senangkanlah hatimu, sebab dihadapanmu terbentang kesempatan untuk mengerjakan yang sulit-sulit. Jika anda miskin, senangkan pula hatimu! Karena engkau terlepas dari penyakit sombong dan terlepas dari  orang yang dengki kepadamu lantaran kemiskinanmu. Kalau engkau tidak terkenal, senangkan pula hatimu! Karena orang lain tidak banyak yang mencela dan mencercamu mu.
Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan! Orang miskin menyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan! Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan! Orang biasa menyangka bahagia terletak pada kepopuleran!
Benarkah demikian.................?
Sesungguhnya, kebahagiaan bukanlah terletak seperti pada ungkapan di atas. Semua kenikmatan duniawi hanya sekedar tangga untuk mengantarkan kepada kebahagiaan, semua itu hanya sarana, bukan kebahagiaan itu sendiri.
Betapa banyak pejabat yang menjadi pablik pigur namun hidupnya diakhiri dengan penderitaan. Betapa banyak artis terkenal yang hidupnya jauh dari kebahagiaan dan berujung kepada narkoba dan obat penenang! Lalu, apakah itu ”bahagia”?
Dalam pandangan banyak tokoh, mereka memberi pemahaman yang berbeda dalam menentukan tolok ukur kebahagiaan. Namun yang jelas, kebahagiaan itu sangat terkait dengan keyakinan diri seseorang akan Hakikat kehidupan ini. Dalam pandangan Islam, hidup ini adalah ujian. Orang yang mengerti tentang hal ini, tentu dalam situasi dan kondisi apapun yang sedang dia hadapi, akan merasakan bahagia selalu.
Jadi, kebahagiaan itu adalah kondisi hati seseorang yang dipenuhi dengan keyakinan (iman), dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya.
Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya, meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia, meskipun harus dimasukkan ke dalam penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Ibnu Taimiyah merasakan bahagia meskipun harus mati dalam penjara. Mereka itu adalah orang-orang yang merasakan kebahagiaan, kendatipun secara pisik mereka tersiksa, tapi hati mereka tidak mampu dikuasai oleh orang yang menyiksa mereka, sebab itulah mereka tetap merasakan kebahagiaan, karena mampu mempertahankan prinsip-prinsip kehidupan untuk tetap pada keyakinan yang telah tertanam di dalam hati.
Ketahuilah............! Bahwa kesenangan atau kebahagiaan  tiap-tiap sesuatu ialah bila merasakan nikmat, kesenangan dan kelezatannya, kelezatan itu ialah sesuai dengan tabiat penciptaannya masing-masing. Misalnya; kenikmatan mata  ialah melihat sesuatu yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, kenikmatan lidah menikmati lezatnya citarasa makanan, demikian pula segala anggota tubuh yang lain dari tubuh manusia. Ada pun kelezatan hati ialah teguh dalam ma’rifat kepada Allah, karena hati dijadikan untuk mengingat Allah.
Seorang rakyat jelata akan sangat gembira kalau dia dapat berkenalan dengan Menteri, namun kegembiraan itu akan berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan pula dengan Presiden. Tentu saja berkenalan dengan Allah merupakan puncak dari segala kegembiraan, lebih dari apa yang dapat perkirakan oleh manusia. Sebab, tidak ada di dunia ini yang melebihi kemuliaan Allah. Oleh karena itu, tidak ada perkenalan akan sesuatu yang lebih lezat daripada ma’rifatullah (mengenal Allah).
Ma’rifatullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan ” لااِلــهَ اِلا الله ( Tiada Tuhan selain Allah ). Maka, untuk dapat meraih kebahagiaan yang hakiki, manusia harus meraih ilmu yang mampu mengantarkannya kepada keyakinan untuk beriman dan taat kepada Allah dan Rasulnya dengan menerima syari’at Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, bukan ilmu yang justru membuat dirinya ragu akan kebenaran Islam. Karena itu, satu kerugian besar jika manusia mencari ilmu yang justru tidak pernah mengantarkannya kepada keyakinan, karena selamanya dia tidak akan pernah menikmati kebahagiaan yang hakiki.

Tidak ada komentar: