Mohamad Natsir Da’i Pemandu Umat ( Lahir di Sumatera Barat 17 Juli 1908 – wafat di Jakarta, 6 Februari 1993 )
Mohamad Natsir Datuk Sinaro Panjang, dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1908 di di kampung Jambatan Baukia, Alahan Panjang, Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat. Ia merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.
Ayahnya bernama Idris Sutan Saripado, seorang juru tulis kontrolir di masa pemerintahan Belanda. Ibunya bernama Khadijah yang dikenal ta’at memegang nilai-nilai ajaran Islam.
Pada tahun 1934, ia mempersunting Putri Nur Nahar (lahir di Bukittinggi, pada tanggal 28 Mei 1905, dan wafat di Jakarta pada 22 Juli 1991), yang pada pertemuan pertama dengan Bapak Muhammad Natsir adalah salah seorang guru Taman Kanak-Kanak bersubsidi “Arjuna” Bandung dan aktifis JIB. Dari perkawinannya, ia dikarunia 6 orang anak, yakni Siti Mukhlisah (1936), Abu Hanifah (1937), Asma Faridah (1939), Hasnah Faizah (1941), Aisyatul Asriyah (1942), dan Ahmad Fauzi (1944).
Sebagai seorang pegawai bawahan, ayahnya sering berpindah tugas dari satu daerah ke daerah lain. Semula ditugaskan di Alahan Panjang, kemudian dipercaya menjadi asisten demang di Bonjol, menjadi juru tulis kontrolir di Maninjau, lalu dimutasikan sebagai sipir di Bekeru Sulawesi Selatan. Menjelang pensiun, ayahnya dikembalikan lagi ke tempat tugas semula di Alahan Panjang. Kondisi kehidupan orang tuanya yang sering berpindah tugas, ikut mempengaruhi latar belakang pendidikan Mohamad Natsir.
Pada awalnya ia belajar pada Sekolah Rakyat di Maninjau yang memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Ketika ayahnya dipindahkan ke Bekeru, ia tinggal bersama paman dan Eteknya Rahim di Padang. Tidak diterima HIS pemerintah, ia masih beruntung dapat mengikuti pendidikan formal di HIS (Hollandsch Inlandschs School) Adabiah, suatu sekolah swasta yang dikelola Haji Abdullah Ahmad dengan sistem pendidikan yang mengacu pada sokolah Belanda yang dilengkapi dengan pelajaran agama Islam.
Lima bulan berselang, ketika di daerah Solok dibuka HIS Negeri, Natsir dipindahkan orang tuanya ke HIS yang baru tersebut dan dititipkan pada Haji Musa seorang saudagar yang cukup terkenal di daerah Solok.
Pada waktu ini, ia tidak hanya belajar di lembaga pendidikan formal. Pada sore hari, ia juga mengikuti pendidikan untuk mendalami pengetahuan agama di Madrasah Diniyah dan pada malam harinya belajar mengaji al-Qur’an di Surau. Disurau itu Mohamad Natsir mulai mempelajari bahasa Arab. Tiga tahun lamanya ia belajar di daerah Solok. Setelah itu, ia pindah ke HIS Padang.
Ketika menamatkan pendidikan di HIS Padang, ia berhasil meraih prestasi yang istimewa sehingga ia diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yakni MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dengan mendapatkan beasiswa dari pemerintah Belanda. Di sekolah tersebut, ia belajar bersama-sama dalam satu kelas dengan murid-murid keturunan Belanda. Berangkat dari ketekunannya dalam belajar, akhirnya berhasil merampungkan pendidikannya di MULO Padang dengan prestasi yang memuaskan sehingga ia kembali mendapatkan beasiswa dari pemerintah Belanda. Bea siswa yang diberikan kepada Natsir untuk melanjutkan pendidikan ke AMS (Algemeene Midel school) di Bandung, yakni pendidikan setara SMU untuk jurusan Sastra Barat Kelasik.
Di usianya yang 19 tahun itu ia tinggal di rumah Latifah, eteknya di kota Bandung. Di sekolah ini di samping belajar Bahasa Belanda ia belajar Bahasa Latin dan Kebudyaan Yunani. Di kelas 2 AMS ia sudah sanggup meneliti dan menganalisa “Pengaruh Penanaman Tebu dan Pabrik Gula Bagi Rakyat di Pulau Jawa” dan berani memaparkannya di depan kelas. Menurut Natsir pengaruh itu negatif.
Sebagai seorang yang pernah hidup dalam suasana tradisi religius yang demikian kuat, ia menilai bahwa pola pendidikan yang diterapkan penjajah Belanda tidak sesuai dengan harapannya sebagai pribadi muslim.
Pendidikan
1916-1923 Holland Inlandsche School di Solok/Padang, Madrasah Diniyah di Solok di sore hari.
1916-1924 Melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), Padang.
1927 – 1930 Algemene Middelbare School, Westers Klasieke Afdeling (AMS A2) Bandung (Lulus dengan nilai tinggi, dan berhak melanjutkan ke Fakultas Hukum di Batavia, sesuai dengan keinginan orang tuanya agar mendapatkan title Mister in de Rechten, atau ke fakultas Ekonomi di Rotterdam, atau menjadi pegawai negeri dengan gaji yang sangat cukup. Tapi ketiganya ditolak oleh Mohamad Natsir, karena ia lebih tertarik kepada masalah-masalah Islam dan gerakan Islam).
1927-1932 Meneruskan studi tentang Islam pada Persatuan Islam Bandung dibawah bimbingan Ustadz A. Hassan.
1931-1932 Kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs).
Mohamad Natsir menyelesaikan pendidikan Al-Gemene Middel School di Bandung dalam kajian Kesusastraan Barat Klasik. Sebenarnya beliau punya kesempatan memperoleh beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya ke Leiden pada pendidikan yang lebih tinggi.
Namun beliau memilih mendalami kajian keagamaan melalui ustaz A. Hassan yang dikenal dengan ulama yang berpaham radikal dan jadi sesepuh organisasi sosial- keagamaan.
Kesempatan tersebut membawa beliau berkenalan dengan ustaz A. Hassan, tokoh PERSIS (Persatuan Islam) garis keras, yang membimbing beliau melakukan studi tentang Islam. Dengan ustaz ini beliau mengelola majalah “Pembela Islam” sampai tahun 1932.
Beliaupun menolak tawaran bekerja sebagai pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda dan lebih tertarik menekuni dunia pendidikan. Obsesi itu membuat ia mendirikan Yayasan Pendidikan Islam di Bandung sekaligus menjabat Direktur dari tahun 1932-1942.
Bahkan dalam masa penjajahan Jepang (1942-1945) pemandu umat ini sempat menjadi sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta. Keluasan wawasannya mencuat ke permukaan setelah dapat menguasai beberapa bahasa asing sebagai alat untuk menggali buku-buku tokoh kelas dunia.
Mohamad Natsir mulai berkecimpung dalam dunia politik praktis setelah menjadi anggota Partai Islam Indonesia pada awal tahun 40-an, memimpin organisasi Majelis Al Islam A’la al-Indunisiya.
Organisasi MIAI makin berkiprah dalam kepemimpinan beliau. Dalam masa Jepang itu pula terbentuk Majelis Syura Muslimin Indonesia atau Masyumi sebagai salah satu wadah perjuangan untuk memerdekakan Indonesia.
Perjuangan, Kemasyarakatan, Pemerintahan dan Luar Negeri
1928-1932 Ketua Jong Islamiten Bond Bandung (dari sinilah Bapak M.Natsir bertemu dengan Mr. Kasman Singodimejo, Mr. Moh.Roem, Prawoto Mangkusasmito yang sering bersama-sama menemui Haji Agus Salim untuk konsultasi, diskusi menimba ilmu.
Disini pula ia bertemu dengan Nur Nahar, aktifis pandu puteri “Natipij” yang kemudian dinikahinya di Bandung pada 20 Oktober 1934 dan menjadi teman pendamping hidup beliau dan perjuangan beliau sampai akhir hayatnya).
1932-1942 Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung.
1940-1942 Anggota Dewan Kabupaten Bandung.
1942-1945 Kepala Biro Pendidikan Kotamadya Bandung (Bandung Syiakusyo).
1945-1946 Anggota Badan Pekerja KNIP.
1946-1949 Menteri Penerangan RI untuk tiga kabinet. Kiprah politiknya semakin menanjak ketika tampil menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat tahun 1945-1946. Pada tahun 1948 ditunjuk menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia.
Prestasi spektakuler Natsir terekam dalam sejarah. Ketika Indonesia menjadi negara serikat sebagai produk dari KMB (Komperensi Meja Bundar), melalui sidang RIS tahun 1950, Natsir tampil dengan melontarkan statemennya yang dikenal dengan “Mosi Integral Natsir”.
Implikasi dari mosi itu, Indonesia yang sudah terpecah kedalam 17 negara bagian dapat bersatu kembali ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Atas jasanya ini, Soekarno mengangkatnya sebagai Perdana Menteri RI. Kedudukan ini merupakan karier politik tertinggi yang pernah dicapainya. Pada saat itu, usianya baru 42 tahun.
1946-1950 Mohamad Natsir menjabat Ketua Umum Partai Masyumi, Selaku Ketua Fraksi Masyumi dalam DPR-RIS.
Pada 3 April 1950, ia mengajukan mosi dalam Parlemen RIS, untuk mendorong RI yang tadinya telah terpecah-belah menjadi 17 negara bagian BFO, sehingga memungkinkan utuhnya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang wilayahnya membentang dari Sabang hingga Merauke. Mosi ini oleh sejarah bangsa kemudian dikenal dengan Mosi Integral Natsir dan kawan-kawan, yang diterima secara aklamasi oleh DPR-RIS.
1950 – 1951 Mohamad Natsir ditunjuk menjadi Perdana Menteri RI pertama setelah RI kembali menjadi Negara Kesatuan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Natsir menghadapi berbagai tekanan.
Diantara yang menonjol masa kabinet Mohamad Natsir, seperti masalah persenjataan yang masih ada di tangan sukarelawan dari berbagai ideologi pasca perjuangan pisik. Mereka antara lain Darul Islam, PKI, gerombolan MMC (Merapi Merbabu Compleks), dan Laskar Harimau Liar.
Masalah lainnya adalah persoalan otonomi Aceh dan sikap PNI yang tidak bersahabat. Sikap PNI yang demikian, di sebabkan sakit hati karena tidak masuk pada kabinet yang di dirikannya dan perbedaan pendapat antara Soekarno dan Natsir tentang persoalan Irian Barat.
Soekarno ingin mengambil Irian Barat secara paksa, dan Natsir konsisten melaksanakan keterikatan diplomatik perjanjian KMB.
Perbedaan pendapat ini menjadikan Soekarno merasa harga dirinya sebagai presiden diremehkan. Kemudian, Soekarno tidak memberi kesempatan lagi kepada Natsir untuk membuktikan kemampuan dalam memimpin kabinet yang dibentuknya. Akibat berbagai kepungan psikologis yang dilakukan PNI, PKI, dan Soekarno, akhirnya Kabinet Natsir jatuh dalam usia 7 bulan.
Memang ada berbeda pendapat antara Natsir dan Soekarno. Natsir selalu berusaha menjaga jarak dengan Soekarno, sambil tetap memimpin fraksi Masyumi di Parlemen 1950-1958 dan anggota Konstituante 1956-1958.
1952 Melakukan kunjungan ke beberapa Negara di Timur Tengah, sebagai Pemimpin Partai Masyumi setelah meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri RIS.
1950-1958 Anggota Parlemen RI dari Fraksi Masyumi.
1956 Memimpin Sidang Muktamar Alam Islami yang berlangsung di Damascus Syria dalam membahas agresi Israel ke Palestina.
Pada tahun itu juga mengerahkan solidaritas masyarakat Indonesia untuk membantu perjuangan kemerdekaan di Afrika Utara.
1956-1958 Anggota Konstituante RI.
Januari 1957 Menerima bintang Nichan Istikhar (Grand Gordon) dari Presiden Tunisia, Lamine Bey atas jasa-jasa Beliau dalam membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara.
1958-1960 Anggota PRRI.
Perbedaan kembali memuncak ketika secara sepihak, mulai berlaku Demokrasi Terpimpin. Soekarno “menguburkan” semua partai yang ada. Natsir melihat sikap ini merupakan bias dari gelagat PKI untuk mengendalikan semua partai.
Menyikapi hal yang demikian Natsir bersikap oposisi sehingga pada akhirnya ia terpaksa bergabung ke dalam PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) bersama dengan Syafroeddin Prawiranegara yang berpusat di Sumatera Barat.
Pada tanggal 17 Agustus 1959, Soekarno secara sepihak membubarkan Masyumi dan memaklumkan pengampunan pada Natsir dan kawan-kawan. Maklumat ini merupakan jebakan Soekarno untuk menangkap Natsir dan kawan-kawan atas tuduhan terlibat Pemberontakan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Permesta.
Ada beberapa alasan yang memicu munculnya PRRI.
Pertama, Pemerintahan Pusat di bawah Perdana Menteri Djuanda dipandang tidak sah karena pembentukannya dilakukan oleh Presiden dan dianggap telah menyimpang dari konstitusi.
Kedua, Sikap dan kebijakan pemerintah pusat yang terkesan sangat toleran dengan Komunis.
Ketiga, Pembangunan terkesan hanya dipusatkan di pulau Jawa dan mengabaikan daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Mohamad Natsir baru kembali setelah pemerintah RI mengeluarkan amnesti dan abolisi pada tahun 1961. Kemudian, Natsir diasingkan ke Batu Malang, Jawa Timur (1960-1962) dan menjadi “tahanan politik” di Rumah Tahanan Militer (RTM) Keagungan Jakarta (1962-1966).
1962 – 1964 Dikarantina di Batu (Jawa Timur) oleh Orde Lama.
1964 – 1966 Ditahan di RTM/Keagungan Jakarta.
Juli 1966 Dibebaskan tanpa pengadilan, setelah Orde Lama ditumbangkan oleh massa dan kesatuan-kesatuan aksi.
Pada tanggal 1 Juli 1966, Natsir akhirnya dibebaskan tanpa melalui proses pengadilan. Dengan demikian kesalahan yang dituduhkan padanya tidak pernah dapat dibuktikan secara hukum.
Pergantian orde lama ke orde baru bagi Mohamad Natsir tidak banyak maknanya dalam politik. Hakikatnya secara politik Mohamad Natsir masih terbelenggu. Meskipun begitu, kecintaan beliau kepada negara kesatuan republik dan bangsa Indonesia yang ikut diperjuangkan beliau sejak masa remaja tidak pernah berkurang.
Secara fisik semasa Soekarno berkuasa, Mohamad Natsir dikarantina dibalik terali di Batu Malang dan di RTM Jakarta dan baru bebas secara fisik dari penjara dimasa Soeharto mulai berkuasa. Namun pada masa orde baru itu, beliau yatanya masih terkarantina dalam makna politik karena tidak boleh berpolitik praktis.
Di awal masa kekuasaan orde baru itu, Mohamad Natsir pernah diminta bantuan oleh Soeharto untuk memulihkan hubungan Indonesia dan Malaysia.
Ketika itu, beliau menulis surat khusus yang dialamatkan kepada YAB. Tengku Abdul Rahman, perdana menteri Malaysia masa itu. Surat tersebut dibawa oleh Ali Moertopo. Hasilnya adalah, konfrontasi kedua negara yang telah ada di masa Soekarno mulai mencair kembali.
Begitu pula halnya, ketika pemerintah Soeharto kesulitan dalam meminta bantuan modal asing, Mohamad Natsir kembali berinisiatif memuluskan bantuan Jepang serta beberapa negara Timur Tengah untuk keperluan pembangunan Indonesia. Di masa orde baru itu, partai Masyumi tidak dapat direhabilitasi. Ketika itu, Natsir memilih medan dakwah.
Bapak Mohamad Natsir, didampingi Umi Nur Nahar serta sebagian anak-cucu, bersama Umi Fatimah Ismail (istri Buya Datuk Palimo Kayo), serta ibu-ibu muslimah badan penyantun RSI Ibnu Sina dan pembina anak yatim Budi Mulia di Sumatera Barat (Dok.HMA)
Setelah pemerintahan Orde Baru berkuasa, Mohamad Natsir dibebaskan dan semenjak itu ia tidak pernah lagi melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan politik praktis.
Dalam usia tua, ia memilih wadah perjuangan melalui aktivitas dakwah Islamiah, yakni melalui organisasi yang didirikan dan dipimpinnya sendiri bernama Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia berkedudukan di Jakarta. Sebagai seorang tokoh, pengaruh dan pemikirannya terlihat masih diperlukan umat, baik didalam negeri maupun di dunia internsional.
Pebruari 1967 Bersama dengan para Ulama dan zuama dengan bertempat di Masjid Al Munawarah Kp. Bali Tanah Abang Jakarta membentuk Yayasan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Dan sejak tahun itu diangkat menjadi Ketua Dewan Da’wah yang dijabat beliau sampai akhir hayatnya.
1967 Vice President World Muslim Congress (Markas di Karachi) Pakistan.Selama tahun 1967, sangat menonjol kunjungan-kunjungan ke Timur Tengah atas undangan pemerintah dari negara tersebut.
1967 Beliau menggerakkan Solidaritas Islam untuk pembebasan Masjidil Aqsha dan Pembebasan Muslim Palestina.
Dalam dunia internasional karirnya masih sempat melejit dengan dipercaya memegang beberapa organisasi Islam Internasional.
Di antaranya pada tahun 1967, ia menjadi wakil Presiden Muktamar Alam Islami yang bermakas di Karachi (Pakistan) dan anggota Liga Muslim Dunia yang bermarkas di Makkah. Pada tahun 1972, ia diangkat menjadi anggota Kehormatan Majelis Ta’sisi Rabithah al-Alam Islami yang berkedudukan di Mekah Saudi Arabia.
1969 Anggota Muslim World League (Rabithah Alam Islamy) berkedudukan di Makkah al Mukarramah, sebagai anggota Majlis Ta’sisi (Pendiri) dari Badan Islam Internasional yang bergengsi ini.
1976
Anggota Majlis A’la Al-Alamy lil Masajid (Dewan Mesjid Sedunia) yang bermarkas di Makkah al Mukarramah bersama-sama dengan Sheikh Harakan dan Sheikh Abdullah bin Baz.
Dengan wawasan politik dan agama yang luas, mengantarkan Natsir untuk memimpin sidang Muktamar Alam Islami di Damaskus pada tahun 1957, bersama syekh Maulana Abul A’ la al-Maududi (Lahore) dan Hasan al-Nadawi (Lucknow).
Pebruari 1980 Mohamad Natsir menerima Penghargaan Jaa-izatul Malik Faishal al-Alamiyah di bidang pengkhidmatan kepada Islam selama tahun 1400 Hijriyah, dari “King Feisal Foundation”, Riyadh. Penghargaan yang sama juga diterima oleh Sheik Abul Hasan an-Nadwi.
Atas jasa-jasanya dalam memimpin organisasi dimaksud, maka pada tahun 1980 Kerajaan Arab Saudi memberikan penghargaan “Faisal Award” sebagai penghormatan atas jasa dan pengabdianya pada Islam.
Tokoh yang tidak pernah absen dalam sejarah ini telah memberi warna tersendiri dalam dunia perpolitikan di negara iklim tropis ini.
1970 Ketua Badan Penasehat Yayasan Pesantren Pertanian Darul Fallah, Ciampea Bogor.
Meskipun tidak melibatkan diri dalam politik praktis, namun ia masih aktif menuangkan pemikiran dalam memberikan kontribusi menciptakan atmosfir politik yang lebih kondusif.
5 Mei 1980 Menandatangani Petisi 50, yang kemudian harus menerima pencekalan selama pemerintah Suharto dimasa Orde Baru.
Mohamad Natsir ikut menandatangani “Pernyataan Keprihatinan” yang belakangan lebih populer disebut dengan Petisi-50. Adapun yang mendorongnya melakukan “Pernyataan Keprihatinan” merupakan salah satu bukti kepeduliannya terhadap nasib bangsa pada umumnya dan nasib umat Islam khususnya.
Setelah “petisi 50“ di tahun 1980, Mohamad Natsir dicekal ke luar negeri. Pada dekade ini Natsir aktif melawan kehendak ordebaru yang ingin mengasastunggalkan Pancasila sebagai dasar semua organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan serta keagamaan. Tampaknya dengan dibolehkannya organisasi Islam mencantumkan dalam anggaran dasarnya kalimat berakidah islam, perkara asas itu diterima dan keluarlah UU No. 5 untuk Orpol dan No. 8 untuk Ormas pada tahun 1985.
1986 Anggota Dewan Pendiri The International Islamic Charitable Foundation, Kuwait.
1987 Anggota Dewan Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London, Inggris, Anggota Majelis Umana’ International Islamic University Islamabad, Pakistan.
Mohammad Natsir merupakan tokoh pendidik, penulis produktif, pendakwah, politisi-negarawan, pemikir, ulama dan pembela Islam. Secara umum kehidupannya telah diserahkan sebagai pemandu umat.
1Agust 1989 Bersama K H Masykur mendirikan Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), menghimpun ulama zuama berbagai golongan dan partai.
Pada saat disebarkannya buku Pendidikan Moral Pancasila yang banyak mengandung ketidak sesuaian dengan pemikiran ummat Islam Indonesia antara lain menyatakan semua agama sama. Mohamad Natsir secara gamblang mendudukan persoalan itu dan menolak apa yang tercantum dalam buku PMP tersebut. Pada akhirnya buku itu direvisi kembali oleh pemerintah. Di dalam perjalanan hidupnya di zaman Orde baru beliau senantiasa dimusuhi dalam politik namun beliau tetap membantu pemabangunan Indonesia.
Dalam bidang akademik, Natsir menerima gelar Doktor Honoris Causa bidang Politk Islam dari Universitas Islam Libanon (1967) dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Saint dan Teknologi Malaysia (1991).
1991 Menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia Kuala Lumpur dan dari Universitas Science Penang Malaysia, dalam bidang pemikiran Islam.
Kedua penghargaan dan penghormatan akademik internasional ini tidak bisa dihadiri oleh Bapak DR. Mohamad Natsir, karena dilarang oleh Pemerintah Orde Baru (Suharto).
Bapak Mohamad Natsir memang punya peran khusus yang tidak bisa dilupakan oleh sejarah, umat Islam, bangsa dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar