MEWUJUDKAN SOLIDARITAS SOSIAL
MELALUI SEMANGAT ‘IDUL ADHA
اَلسَّلاَمَ عَـلـَـيْـكـُمْ وَرَحْـمَة ُ الله ُ وَبَـرَ كـَاتـُـهُ.
اَللهُ اَ كـْبَـرُـ اَللهُ اَ كـْبَـرُـ اَللهُ اَ كـْبَـرُـ لاَاِلـَهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَللهُ اَ كـْبَـرُ اَللهُ اَ كـْبَـرُ وَ ِللهِ الـْحَـمْـدُ .
اَلـْحَـمْـدُ ِللهِ الَّـذِيْ جَعَـلَ هـَذ َا الْـيـَوْمَ مِـنْ اَعْـظَـِم اْلاَيَّـامِ وَمِـنْ شَعَائِــِر اللهِ . اَشْهَـدُ اَنْ لاَ اِلـَهَ اِلاَّ اللهُ الـْمَـلِـكُ الْحَقُّ الْـمُـِبـيْـنُ. وَاَشْهَـدُ اَنَّ سَــِيّـدَنَـا مُحَـمَّـدًا عَـبْـدُهُ وَرَسُــْولـُهُ اْلاَمِـيْـن‘ اَلـْمَـبْـعُـوْثُ رَحْـمَـة ً ِلـلْعَالـَمِـيْـنَ. اَلـَّلهُـمَّ صَـلِّ وَسَـلِّـمْ عَـلىَ سَــِّيـدِنـَا مُـحَـمَّـدٍ وَعَـلىَ اَلِـهِ وَاَصْحَا ِبهِ اَجْـمَـعِـيْـنَ. اَمَّـا بَـعْـدُ فـَيَا عِـبَـادَ اللهِ، اُوْصِـيْـكُـمْ وَاِيَّـايَ ِبـتـَـقـْوَى اللهِ فـَقــَـدْ فـَازَ الـْـمُـتـَّـقـُوْنَ. قـَالَ اللهُ تـَـعَالىَ فِى الـْـقـُرْ آ نِ الـْكَــِريْـمِ : اِنَّ اَوَّلَ بَــيْـتٍ وُّضِـعَ لِـلـنـَّـا ِس لـَلَّـذِيْ ِبـبَـكـَّـة َ مُـبَـارَكـًا وَّهُـدًى لِـلْـعَـالـَمِـيْـنَ. وَ قـَالَ اللهُ تـَعَـالىَ : وَ ِللهِ عَـلىَ الـنـَّا ِس حِـجُّ الـْـبـَيْـتِ مَـن ِ اسْـتـَطـَاعَ اِلـَـيْـهِ سَــِبـيْـلا ً وَمَـنْ كـَفـَرَ فـَاِ نَّ اللهَ غـَـِنيٌّ عَـنِ الـْعَـالـَـمِـيْـنَ . وَقـَالَ نـَـعَـالىَ : اِنـَّا اَعْــطَـيْـنـكَ الـْـكـَوْ ثـَرَ، فـَصَـلّ ِ ِلـرَ ِبّـكَ وَانْحَـرْ اِ نَّ شَا نِـئـَـكَ هُـوَ الاَبْـتـَرُ صَـدَقَ اللهُ الـْعَـظِـيْـم.
Kaum Muslimin Jama’ah Shalat ‘Idul Adha yang saya muliakan!
Mengawali khutbah ‘Idul Adha pada hari ini, terlebih dahulu marilah kita menyampaikan ungkapan rasa syukur kepada Allah dengan mengucapkan “ا لْـحَـمْـدُ ِللهِ رَ بِّ ا لـْـعـَالـَـمِـيْـنَ “ , karena sampai saat ini kita masih diberikan Allah kesehatan, keselamatan, juga kesempatan, sehingga kita dapat bersama-sama merayakan hari Raya ‘Idul Adha pada tahun 1432 H ini yang ditandai dengan melaksanakan shalat ‘Idul Adha di tempat ini. Tentu kita semua berharap, segala amal ibadah yang kita lakukan dalam kehidupan ini dapat diterima disisi Allah, dan kiranya Allah menempatkan kita ditempat orang-orang yang mulia disisiNya.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan selalu kepada rasul pilihan, junjungan kita nabi Muhammada SAW. Semoga kita sebagai ummatnya tetap setia selalu, dapat menjalankan agama dengan baik dalam kehidupan ini, sesuai dengan suri teladan yang sudah dicontohkan oleh nabi Muhammad pada masa hayatnya, dan dengan memperbanyak shalawat kepadanya kita berharap semoga atas izin Allah SWT kiranya kita termasuk ummatnya yang akan mendapatkan syafa’atnya di hari akhirat kelak.
Hadirin, Sidang Jama’ah Shalat ‘Idul Adha yang berbahagia!
Setiap orang yang beriman tentu mendambakan rahmat, maghfirah, dan ridha Allah SWT. Seluruh aktivitasnya, baik yang berkaitan dengan kehidupan dunia maupun akhirat tentu diharapkan agar ia memperoleh rahmat dan ridha Allah SWT. Bagi orang yang beriman tentu tidak ada perbedaan baginya antara aktivitas yang berkenaan dengan kehidupan dunia dengan aktivitas yang berkenaan dengan kehidupan akhirat. Sebab, keduanya dilakukan dengan tujuan untuk mencari ridha Allah. Kedua aktivitas itu dilakukan sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Allah. Bila kedua aktivitas tersebut sudah diridhai Allah tentu rahmat dan maghfirah Allah akan tercurah kepadanya. Demi memperoleh rahmat, maghfirah, dan ridha Allah tersebut, seorang yang beriman akan melakukan apa saja yang mungkin dapat ia lakukan dan memberikan apa saja yang dapat ia berikan serta mengurbankan apa saja yang dapat ia kurbankan.
Kesadaran dan keinsyafan untuk berkurban karena Allah inilah yang merupakan makna hakiki dari "’Idul Adha”. Makna ini akan dirasakan manfaatannya apabila diwujudkan dalam realitas kehidupan kita sehari-hari.
Secara harfiah "’Idul Adha” artinya adalah Hari Raya Kurban. Dinamai demikian karena dimaksudkan untuk mengingat pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. dan keluarganya untuk dicontoh, diteladani, dan nilai-nilainya diwujudkan oleh orang-orang yang beriman dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pemahaman yang sederhana, nilai-nilai ajaran kurban ini tergambar di dalam penyembelihan hewan kurban itu sendiri, yang dalam pelaksanaan kurban tersebut sekurang-kurangnya ada lima ciri yang terdapat di dalam aktivitas pelaksanaanya, yaitu: (1) Niatnya (2) Orientasinya (3) Manfaatannya (4) Caranya (5) Tujuannya.
Mari kita lihat kelima ciri tersebut satu persatu.
I. Niatnya: Menyangkut masalah niat, harus dipahami bahwa pelaksanaan kurban itu hanya diniatkan karena Allah. Esensi niat karena Allah adalah memurnikan ketaatan dan kepatuhan hanya kepada Allah sebagai wujud dari keimanan dan kesadaran selaku hamba Allah, dan khalifah Allah di muka bumi.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Bayyinah; 5:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
Niat karena Allah mempunyai fungsi antara lain:
Pertama: Menumbuhkan kesadaran tentang existensi (keberadaan) Allah.
Kedua: Menyadarkan diri bahwa ketaatan, kepatuhan, kepasrahan, dan ketundukan hanya pantas diberikan kepada Allah.
Ketiga: Menanamkan kesadaran bahwa Allah tidak membeda-bedakan manusia, tidak ada perbedaan antara orang kaya dengan orang miskin, majikan atau buruh, pejabat atau rakyat biasa. Karena itu, setiap manusia dituntut untuk mentaati hukum, yaitu mengedepankan supremasi hukum untuk melaksanakan kewajiban, ketentuan, dan peraturan. Seluruh manusia sama di hadapan Allah, yang membedakan manusia dihadapan Allah hanyalah nilai ketakwaannya. Iman dan takwalah yang membuat seseorang dekat dan mulia di sisi Allah.
Keempat: Menjadikan Allah sebagai motivasi dan tujuan hidup.
Kelima: Menghilangkan semua penyakit hati, seperti syirik, kufur, munafik, takabbur, riya, 'ujub, dan lain sebagainya.
Orang yang memiliki niat dan kesadaran seperti ini, akan dapat melakukan apa saja yang diperintahkan Allah, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as, dan keluarganya pada saat Nabi Ibrahim menerima perintah Allah untuk mengorbankan putranya Ismail as. Padahal Nabi Ibrahim, sudah cukup lama mendambakan anak. Namun, pada saat Allah memberikan anak kepadanya, dan ketika anak tersebut telah sampai kepada usia mumayyiz, bisa mambantu dan berusaha bersama ayahnya Ibrahim, datanglah perintah Allah untuk menyembelihnya. Dengan keimanan Ibrahim beserta keluarganya kepada Allah, Ibrahim dan keluarganya ikhlas melaksanakan perintah Allah tersebut. Pertanyaan yang seharusnya muncul dalam benak kita adalah; Apa yang menyebabkan Nabi Ibrahim siap untuk mengorbankan anaknya ?
Jawabnya adalah:
Pertama: Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap puteranya tidak dapat menghalangi kepatuhan dan ketaatannya kepada Allah.
Kedua: Ismail sebagai anak yang akan disembelih, bersedia mengorbankan jiwa dan raganya karena patuh dan taat kepada Allah . Dalam hal ini Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat As-Soffat; 102-107:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاء الْمُبِينُ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
" Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”.
Ketiga: Hajar ra sebagai isteri, sekalipun air matanya nampak menitik pertanda bahwa ia tidak dapat menyembunyikan kesedihannya, tetapi keteguhan hati ia berkata: "aku rela kalau itu memang perintah Allah".
Pada saat nabi Ibrahim merasa benar-benar yakin bahwa mimpinya menyembelih Ismail adalah perintah Allah, dalam kepastiannya sebagai pemimpin, sebagai orang kaya, bahkan sebagai orang yang bergelar Khalilullah, sebagai orang yang mempunyai kedekatan dengan Allah, tidak sedikitpun terbetik di hati Ibrahim dan keluarganya agar mereka diperlakukan secara berbeda di dalam melaksanakan peraturan dan ketentuan Allah. Karena Nabi Ibrahim dan keluarganya menyadari bahwa di hadapan Allah semua manusia sama, harus taat kepada perintah, taat kepada keputusan hukum, taat kepada peraturan dan ketentuan yang ada. Kepatuhan dan ketaatan yang dijiwai oleh semangat pengorbanan karena Allah ini, divisualisasikan (diragakan) secara simbolik dengan penuh keimanan dan keinsyafan oleh ummat Islam yang melaksanakan ibadah haji, dan orang-orang yang melakukan ibadah kurban.
Aktivitas orang yang melakukan ibadah haji seluruhnya mencerminkan kepatuhan dan ketaatan. Hal ini, sejalan dengan apa yang mereka nyatakan di dalam talbiyah, Labbaik Allahumma Labbaik (Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu ). Di dalam kehidupan pasca ibadah haji, kesiapan inilah yang menjadi salah satu indikasi penting bagi seseorang apakah hajinya mabrur atau tidak.
II. Orientasinya: Orientasi pelaksanan kurban yang didasari karena kepatuhan kepada Allah diwujudkan dalam bentuk kepedulian sosial dan perhatian terhadap lingkungan. Allah berfirman dalam surat Al-Hajj;28:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ ............
“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir”.
Kandungan ayat di atas adalah, bahwa Allah menyatakan, daging kurban boleh dinikmati oleh orang yang berkurban, tetapi sebagian yang lain didistribusikan secara adil dan merata terutama kepada mereka yang benar-benar membutuhkan sebagai bentuk kepedulian sosial dan perhatian terhadap lingkungan.
III. Manfaatnya. Manfa’at ibadah kurban tentunya akan dapat dirasakan oleh berbagai pihak, antara lain:
1. Bagi pihak yang berkurban, diharapkan kualitas keimanan dan ketakwaannya akan semakin bertambah, dan posisinya akan semakin dekat kepada Allah.
2. Nikmat dan karunia Allah tidak hanya dirasakan oleh orang-orang tertentu saja melainkan oleh orang-orang yang berada di lingkungannya, terutama oleh mereka yang berada pada posisi mustad'afin ( lemah secara finansial ).
3. Penyakit-penyakit sosial, seperti sikap apatis, individualistis, egoistis, dan kazaliman-kezaliman lainnya diharapkan dengan sendirinya akan terkikis melalui proses interaksi dalam kehidupan sosial yang dijiwai oleh semangat pengorbanan karena Allah, sehingga apa yang disebut dengan kesenjangan sosial akibat ketidak adilan yang dapat menimbulkan sikap dan perilaku kriminalitas serta anarkis dan kejahatan-kejahatan ekonomi dan sosial lainnya dapat dihindarkan.
IV. Caranya: Cara berkurban karena Allah, seperti yang diperintahkan Allah, bukan dengan cara membinasakan manusia, tetapi justru dengan menyelamatkan manusia dan kemanusiaan, dengan jalan mensyukuri nikmat dan karunia Allah, dalam rangka mengoptimalisasikan kemanfaatan nikmat dan karunia Allah yang telah diberikan oleh Allah dan menebarkannya secara adil dan merata.
Perintah Allah kepada nabi Ibrahim untuk menyembelih Ismail semata-mata dimaksudkan hanyalah sebagi ujian, sebagai tuntutan pembuktian atas tekad kesetiaan yang pernah dinyatakan oleh Ibrahim as sendiri. Di samping sebagai Nabi, Ibrahim adalah orang kaya yang sangat dermawan. Ia banyak mengorbankan harta kekayaannya untuk kepentingan sosial.
Dalam riwayat dikisahkan, suatu waktu nabi Ibrahim pernah menyembelih kambing dan unta dengan jumlah yang banyak, dagingnya ia berikan kepada masyarakat yang ada disekitarnya. Pujian dari masyarakat banyak berdatangan tertuju kepadanya atas kebaikan yang ditunjukkan nabi Ibrahim. Saat itu, ia belum dikaruniai Allah anak. Terhadap pujian yang ditujukan kepadanya, Ibrahim-pun berkata; Jangankan kambing dan unta, anak sendiripun akan aku jadikan kurban apabila hal itu diperintahkan Allah. Maka tatkala Ibrahim dikaruniai Allah anak, dan anaknya-pun sudah beranjak remaja, dapat membantu pekerjaannya, saat hati Ibrahim dan Hajar berbunga-bunga melihat anak yang cerdik dan lincah, saat itu pula datang perintah Allah agar Ibrahim menyembelih putranya (Ismail). Allah menginginkan agar Ibarahim membuktikan tekad dan kesetiaannya kepada Allah.
Setelah Ibrahim as yakin bahwa mimpi itu, benar-benar perintah Allah, iapun berbulat hati untuk melaksanakannya. Ayah dan anak tunduk pada kehendak Allah, tetapi Allah punya kehendak lain. Sesudah nyata kesabaran dan ketaatan Ibarahim dan Ismail, maka Allah mengganti posisi nabi Ismail dengan binatang sembelihan yang besar, yang dagingnya diperintahkan Allah untuk didistribusikan secara adil dan merata terutama kepada mereka yang membutuhkannya. Peristiwa ini menjadi dasar syariat Kurban yang dilakukan setiap tahun dalam rangkaian Hari Raya ‘Idul Adha bagi ummat Islam.
V. Tujuannya: Tujuan berkurban adalah taqarrub kepada Allah, yaitu untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada-Nya agar memperoleh rahmat, maghfirah, dan ridha-Nya. Upaya mendekatkan diri kepada Allah adalah proses yang seharusnya terus menerus bergerak tanpa henti.
Karena taqarrub kepada Allah merupakan proses terus menerus tanpa henti, maka di dalamnya tentu terdapat dinamika, aktivitas, kreativitas, produktivitas, dan inovasi-inovasi, yang kesemuanya berjalan sesuai dengan aturan dan ketentuan Allah, berjalan secara efisien, efektif, disiplin, istiqamah, dan bermanfaat bagi lingkungannya.
اَللهُ اَ كـْبَـرُـ اَللهُ اَ كـْبَـرُـ اَللهُ اَ كـْبَـرُ وَ ِللهِ الـْحَـمْـدُ
Hadirin, Kaum Muslimin jama’ah shalat 'Id yang berbahagia !
Ada tiga hal yang terus menerus bergerak dalam proses taqarrub kepada Allah:
Pertama: Berzikir kepada Allah.
Ini adalah merupakan proses internalisasi dalam diri seseorang untuk dapat menerapkan sifat-sifat mulia dari sifat-sifat Allah, sehingga akal sebagai badan pertimbangan dalam memutuskan sesuatu di wilayah kekuasaan jasmani dan rohani dapat mengintruksikan kepada pancaindra dan anggota badan dengan instruksi-instruksi yang telah terilhami, yaitu dikarenakan hatinya yang terus menerus berzikir kepada Allah, maka yang keluar dari anggota badannya adalah realisasi dari zikir dan pikir serta proses peneladanan terhadap sifat-sifat Allah yang sudah menyatu dalam kehidupannya, sehingga yang muncul kepermukaan dalam kehidupan seseorang adalah aktivitas-aktvitas dan inovasi-inovasi yang positif, konstruktif dan berguna, yang berwujud dalam bentuk kegiatan-kegiatan positif, dalam bahasa agama disebut amaliyah shalihah yang pada gilirannya akan membentuk budaya dan kebudayaan yang shalih pula. Dengan demikian akan timbul dalam perilaku manusia keshalihan individu dan keshalihan sosial.
Kedua: Kedudukan dan Martabat.
Harkat, martabat, dan kedudukan orang yang takarrub kepada Allah juga terus menerus akan bergerak menuju kemuliaan dan kesempurnaan. Yaitu seiring dengan amaliyah –amaliyah shalihah yang ia lakukan dan prestasi-prestasi mubarakah yang ia raih.
Ketiga: Keadaan Masyarakat dan Lingkungan.
Keadaan masyarakat dan lingkungan orang yang bertakarrub kepada Allah juga terus menerus bergerak menuju kebahagiaan dan kesejahteraan yang diridhai oleh Allah SWT . Sebab, dari diri orang yang takarrub kepada Allah akan memancar cahaya, yaitu cahaya dalam bentuk amaliyah-amaliyah shalihah tadi, yang dapat menghilangkan kepekatan-kepekatan sosial dan kesemerawutan tatanan kehidupan dan lingkungan, sehingga apa yang disebut di dalam Al-Qur'an dengan “ Baldatun tayyibatun wa rabbun gafur “ ( Negeri yang baik dan sejahtera, dan mendapat ampunan Allah) dapat terwujud dan menjadi kenyataan.
اَللهُ اَ كـْبَـرُـ اَللهُ اَ كـْبَـرُـ اَللهُ اَ كـْبَـرُ وَ ِللهِ الـْحَـمْـدُ
Hadirin, Kaum muslimin dan Muslimat yang berbahagia!
Nilai-nilai, semangat, dan sejarah berkurban seperti yang telah disebutkan hanya akan menjadi "laksana mutiara dalam lumpur" manakala kita tidak dapat mewujudkannya ke dalam kenyataan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, sesuai dengan maksud dan tujuannya, sejatinya ibadah kurban yang disyari'atkan Allah ini, kita jadikan sebagai sarana pendidikan, kita jadikan sebagai instrumen atau cara untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya untuk diaplikasikan dalam kenyataan kehidupan kita sehari-hari, sehingga sesuai dengan sifatnya dan kemanfaatannya dapat dirasakan secara bersama-sama, terutama oleh masyarakat dan lingkungan di mana kita berada.
Semangat berkurban tidak boleh berhenti hanya pada saat penyembelihan binatang kurban di hari Raya ‘Idul Adha semata, tetapi harus berlanjut dengan mengaplikasikan makna-makna tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari, dan inilah yang dikehendaki oleh setiap peribadatan atau ritual dalam Islam.
Hadirin, Kaum muslimin dan Muslimat yang berbahagia!
Dalam situasi dan kondisi seperti saat ini, dimana bangsa Indonesia mendapat cobaan yang beruntun, disamping itu bangsa Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari krisis-krisis yang melanda, seperti krisis sosial, krisis kepemimpinan, politik, krisis ekonomi, bahkan krisis moral, krisis solidaritas sebagai bangsa, krisis kepercayaan, krisis kejujuran, dan krisis semangat pengorbanan. Nampaknya, kita sangat membutuhkan semangat pengorbanan dan solidaritas, agar kita dapat keluar dan terbebas dari segala bentuk krisis yang sedang kita alami. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang berbahagia ini, saya selaku khatib mengajak kepada kita semua:
Mari kita jadikan Hari Raya ‘Idul Adha dan penyelenggaraan ibadah kurban tahun 1432 H ini, sebagai momentum untuk mewujudkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari melalui pendalaman nilai-nilai dan semangat pengorbanan karena Allah, dan mari kita berupaya agar memiliki sikap solidaritas, baik sebagai bangsa Indonesia maupun sebagai umat Islam, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim as dan keluarganya.
Dengan semangat taqarrub kepada Allah kita tingkatkan zikir dan pikir, kita tingkatkan semangat pengorbanan dan solidaritas, kita tingkatkan proses mencontoh serta meneladani sifat dan af’al Allah untuk kita terapkan dalam kehidupan kita, tertutama terhadap sifat-sifat Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Maha Pengatur dan Maha Pemelihara, Maha Pemberi Pertolongan dan Maha Penyantun, Maha Pemaaf dan Maha Pemberi Nikmat, Maha melimpahkan Kebaikan dan Maha Pemberi Karunia, Maha Pemberi tobat dan Maha Pembebas dari segala penderitaan dunia dan akhirat. Dengan cara seperti ini ان شاء الله kita akan mampu menghadapi krisis-krisis yang kini sedang melanda kita bangsa Indonesia karena kita senantiasa bersama Allah.
Semoga Allah SWT memberi kekuatan dan kemampuan kepada kita, terutama kepada orang-orang yang berada pada posisi "bisa membantu" mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Kita doakan untuk orang yang berkurban pada hari Raya ‘Idul Adha tahun ini, semoga ibadahnya diterima oleh Allah SWT, dosa dan kesalahannya diampuni, segala usaha dan aktivitasnya diberkati, sedang perniagaannya kepada Allah dalam bentuk pengorbanannya di jalan Allah yang berdimensi vertikal dan horizontal yang berdampak kepada harmonisnya kehidupan sosial, mendapatkan anugerah dan ridha Allah. Di dunia mereka mendapatkan bimbingan dan tuntunan Allah. Sedang di akhirat nanti mereka dimasukkan ke dalam syurga dengan limpahan rahmat, maghfirah, dan ridha Allah SWT.
Kepada jama’ah yang tahun ini belum memiliki kelebihan rezeki untuk berkurban, kita do’akan pula semoga pada tahun-tahun mendatang diberikan Allah rezeki yang berlimpah sehingga dapat pula berkurban pada tahun yang akan datang.
Kepada mereka yang menunaikan ibadah haji, semoga hajinya diterima oleh Allah sebagi haji yang mabrur. Semoga mereka bisa menjadi tamu yang baik dihadapan Allah pada saat berada di tanah suci, dan semoga sekembalinya nanti dari menunaikan ibadah haji bisa menjadi duta Allah untuk memaparkan kepada kita tentang keagungan perintah Allah dalam pelaksanaan ibadah haji.
Kepada yang belum berkesempatan menunaikan ibadah haji kita berdo’a semoga diberikan Allah kesempatan untuk melaksanakannya di tahun-tahun mendatang. Demikian pula bagi yang sudah pernah melaksanakan ibadah haji, semoga diberikan Allah kembali kesempatan untuk menunaikan ibadah haji.
Kepada yang saat ini dilanda berbagai musibah dan kesulitan, terutama kesulitan yang diakibatkan oleh berbagai krisis seperti yang disebutkan sebelumnya, semoga Allah memberikan kesabaran dan segera terlepas dari kesulitan-kesulitan yang dialami.
Kepada kita semua, kepada bangsa Indonesia, kepada kaum mukminin dan mukminat di manapun berada, kepada ibu dan bapak kita, kepada para pemimpin kita, kepada anak cucu dan keluarga kita, kepada generasi kita yang akan menerima tongkat estafet kepemimpinan agama, bangsa dan negara, kiranya Allah berkenan memberikan ketetapan iman dan Islam, memberikan taufiq, hidayah dan 'inayah-Nya, memberikan kemudahan dan keberkahan-Nya, sehingga kita dapat memperoleh kebahagian dan kesejahteraan di dunia dan akhirat.
امـِـيْــنَ يَـا رَبَّ الـْعـَالـَمِـيْـنَ
بَـارَ كَ اللهُ لِـيْ وَ لـَـكـُـمْ فِى الـْـقـُـرْ آ ِن ا لـْـعَـظِـيْـمِ وَ نَـفـَـعَـنِـيْ وَ اِ يـَّـا كـُـمْ بـِـمَـا فِـيْهِ مِـنَ
ا ْلا يَـاتِ وَ ا لـِذ ّ كـْـرِ ا لْـحَـكِـيْـمِ وَتــَـقـَـبـَّـلَ مِـنِّيْ وَ مِـنْـكـُمْ تـِـلا َ وَ تـَـه اِ نـَّـه هُــوَ
ا لـسَّــمِــيْــعُ ا لـعَـلـِـيْـمُ وَ ا لْـحَـمْـدُ ِللهِ رَ بِّ ا لـْـعـَالـَـمِـيْـنَ.
Konsep Khutbah ‘Idul Adha ini dibuat dalam rangka memenuhi harapan teman-teman yang masuk ke email saya untuk di posting konsep khutbah ‘Idul Adha 1432 H. Semoga bermanfaat.