Sabtu, 13 Oktober 2012

Menapak Tilas Kehidupan Nabi Ibrahim


Meneladani Nabi Ibrahim Dalam Membina Keluarga

Al-Qur’an banyak bercerita tantang kisah orang-orang yang terdahulu untuk kita jadikan teladan dalam membina keluarga. Sebab, persoalan keluarga dalam suatu masyarakat tak kalah pentingnya dengan persoalan - persoalan yang lain. Karena keluarga adalah ujung tombak untuk perbaikan di lingkungan masyarakat. Jika suatu keluarga gagal dalam mendidik anak-anaknya, tentu masa depan akan suram. Pendidikan dalam lingkungan keluarga adalah untuk membentuk pribadi- pribadi yang baik.
Islam memberikan perhatian yang sangat besar pada pembinaan keluarga. Sebab keluarga merupakan instrumen penting dalam masyarakat. Apabila tidak dibina dengan baik dan benar, tentu akan sulit terwujudnya sebuah tatanan masyarakat idaman. Sebab itulah peranan keluarga dipandang penting dalam menciptakan masyarakat yang baik dan sejahtera.
Karenanya, perlu diketengahkan profil keluarga yang pernah dilukiskan dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini adalah keluarga Nabi Ibrahim AS. Diharapkan dapat diteladani atau diambil hikmahnya agar dapat menginspirasi terbentuknya keluarga harmonis. Keluarga-keluarga yang harmonis akan mewujudkan masyarakat yang aman dan damai. Selanjutnya masyarakat-masyarakat yang damai akan mengantarkan kepada negara yang kokoh dan sejahtera. Maka, jika ingin mewujudkan negara yang kokoh dan sejahtera, kita harus membangun masyarakat yang damai. Dan, jika ingin menciptakan masyarakat yang damai, kita harus membina keluarga-keluarga yang baik dan harmonis.
Kisah populer yang berkenaan dengan kehidupan Nabi Ibrahim antara lain adalah, ketika Allah mengaruniakan kepadanya seorang putra pada saat usianya sudah lanjut. Namun, Allah Maha kuasa untuk berbuat apa saja. Ibrahim yang sudah lanjut usia  akhirnya memperoleh seorang putra yang diberi nama Ismail. Penantian panjang yang sekian lama untuk mendapatkan anak membuat Ibrahim sangat mencintai anaknya.
Ditengah kehidupan yang menggembirakan dengan putra tercinta, Allah menguji imannya melalui sebuah mimpi. Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anaknya.
Allah menceritakan rangkaian kisah penyembelihan yang dilakukan oleh Ibrahim ini, mulai dari datangnya mimpi, kepasrahan Ismail terhadap perintah Allah, kemudian meminta ayahnya agar meletakkannya tepat di pelipisnya, kemudian setelah itu barulah terdengar panggilan kepada Ibrahim, “Sesungguhnya engkau telah membenarkan/melaksanakan mimpi itu. Kisah ini tercantum dalam Al-Qur’an surat Ash-shaffat; 100-107:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ ﴿١٠٠﴾ فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ ﴿١٠١﴾ فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ ﴿١٠٢﴾ فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ ﴿١٠٣﴾ وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ ﴿١٠٤﴾ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ ﴿١٠٥﴾ إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاء الْمُبِينُ ﴿١٠٦﴾ وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ ﴿١٠٧﴾
Artinya: Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.  “.
Hal yang menarik dalam kisah ini adalah, sebelum Ibrahim melaksanakan perintah penyembelihan itu, terjadi dialog yang sangat harmonis dan menyentuh hati antara anak dan bapak. Tidak disangka sebelumnya, sang anak dengan hati yang tegar siap menjalani semua kehendak Allah. Ia bersedia disembelih oleh ayahnya demi menjalankan perintah Allah SWT. Ketegaran sang ayah untuk menyembelih anaknya, kesabaran anak untuk disembelih ayahnya, dan ketabahan sang ibu untuk menyerahkan anaknya, telah membuat mereka berhasil menempuh ujian yang maha berat. Allah menebus Ismail dengan seekor domba, dan peristiwa bersejarah itu diabadikan dalam rangkaian ibadah qurban pada hari Idul Adha.
Dengan demikian, keikhlasan itu tidak hanya milik Ibrahim, tetapi keikhlasan itu juga milik isterinya Hajar dan putranya Ismail. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang berserah diri kepada Allah. Sehingga jadilah mereka keluarga teladan sepanjang zaman, keluarga yang menjadi mercusuar penerang kegelapan. Keluarga yang memiliki tujuan meraih keridhaan Allah yang menjelma menjadi keluarga yang di dalamnya tumbuh rasa saling tolong-menolong untuk melaksanakan perintah Allah.
Pantas dan wajar kalau keluarga Nabi Ibrahim AS. termasuk keluarga pilihan di alam semesta ini. Sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 33:
إِنَّ اللّهَ اصْطَفَى آدَمَ وَنُوحاً وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ
Artinya: Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga `Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing),“.
Kisah keluarga Ibrahim ini menginspirasikan kepada umat Islam untuk meneladani beberapa langkah yang ditempuh Nabi Ibrahim.
Pertama: Pentingnya komunikasi dialogis antara anggota keluarga, dalam konteks ini, antara ayah dan anak. Meskipun Ibrahim meyakini bahwa perintah menyembelih anaknya itu wajib dilaksanakan, tetapi Ibrahim tetap melakukan dialog dengan putranya untuk meminta pendapat.
Tradisi inilah yang dewasa ini mulai terkikis dalam pembinaan keluarga. Posisi anak dalam keluarga cenderung diabaikan dan dipandang sebelah mata. Anak seolah-olah hanya berkewajiban untuk sekedar menuruti segala perintah orang tua tanpa memiliki hak bicara dan berpendapat. Akhirnya, hubungan orang tua dengan anak ibarat hubungan atasan dengan bawahan.
Hubungan seperti ini apabila dibiarkan, tidak menutup kemungkinan akan menghambat perkembangan karakter dan pribadi seorang anak. Biasanya, anak cenderung tumbuh menjadi pribadi yang penakut dan tidak percaya diri. Atau, kepatuhan yang ditampilkan pada orang tua hanyalah kepatuhan semu, sementara dalam jiwanya, ia menyimpan sikap menentang. Ia hanya mampu memendam sikap menentang dan tidak mampu melampiaskannya. Sikap seperti ini akan menjadi bom waktu dalam jiwa anak yang suatu saat akan meledak jika situasi dan kondisinya mendukung dan memungkinkan. Karena itu perlu dibangun komunikasi dan dialog yang harmonis antara orang tua dan anak. Orang tua yang mau meminta pendapat anaknya, khususnya yang berhubungan langsung dengan dirinya, akan memberikan rasa percaya diri yang besar dalam jiwa anak. Ia akan merasa keberadaannya dalam keluarga dihargai dan diperhatikan. Selanjutnya, perasaan ini akan menumbuhkan sikap kreatif dan proaktif dalam jiwa anak di tengah-tengah masyarakat.
Kedua: Kasih sayang dan cinta kepada anak adalah ujian dari Allah. Dalam surat al-Taghabun ayat 14-15 Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤﴾ إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ ﴿١٥﴾
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar“.
Dari firman Allah diatas kita memahami bahwa anak dan istri bisa menjadi musuh bagi seseorang jika semua itu akan melalaikannya dari mengingat Allah. Bagaimanapun cintanya orang tua kepada anaknya, tidak boleh menyamai apalagi melebihi cintanya kepada Allah. Ketika istri, anak-anak dan keluarga lebih dicintai daripada Allah, saat itulah mereka akan berubah menjadi musuh di akhirat kelak.
Ketiga: Kesabaran dan ketabahan dalam menjalankan perintah Allah akan selalu mendatangkan hasil yang baik. Ketika Ibrahim dan Ismail serta Hajar bersikap sabar dan tabah dalam menjalankan perintah Allah, meskipun itu sangat berat, Allah menerima pengorbanan mereka dan menjadikan keluarga mereka sebagai keluarga pilihan di alam semesta. Mereka telah lulus menjalani sebuah ujian yang sangat berat. Kesabaran dan ketabahan dalam menjalankan perintah Allah itu hanya dapat diperoleh dengan keimanan yang kuat dan keyakinan yang kokoh bahwa kehendak Allah adalah yang terbaik meskipun bertentangan dengan hawa nafsu manusiawi.
Ada sisi lain dari kehidupan Ibrahim dan keluarganya yang patut diteladani. Yaitu metode pembinaan keluarga. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 37:
رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ الصَّلاَةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Artinya: Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur“.
Doa Nabi Ibrahim yang termuat dalam firman Allah di atas, ia mohonkan saat akan meninggalkan isterinya Hajar dan anaknya Ismail di lembah yang tandus, tidak ada tumbuhan, tanaman dan hal-hal yang menopang untuk kehidupan. Dari sinilah, banyak hikmah yang dapat diteladani, terutama terkait dengan metode pendidikan yang diterapkan oleh Nabi Ibrahim kepada keluarganya, diantaranya:  
1. Ibrahim tidak meninggalkan keluarganya di sembarang tempat, melainkan di dekat Baitullah (rumah Ibadah). Tentu saja ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan sebagai pertanda bahwa sejak awal Nabi Ibrahim ingin mengkondisikan keluarganya (isteri dan anaknya) untuk selalu dekat dengan Baitullah. Seakan beliau yakin betul, bahwa tidak mungkin anak dan keluarganya menjadi shalih dan taat tanpa mengenal dan dekat dengan Baitullah.
Dalam konteks kekinian, yang kita saksikan adalah sesuatu yang sangat  kontras dengan apa yang terjadi pada anak-anak sekarang, mereka banyak yang lebih suka ke Mall daripada ke Masjid. Lebih akrab dengan playstation daripada Al-Qur’an. Hal ini terjadi karena banyak orang tua (walau tidak semua) yang tidak mempertautkan hati anak-anaknya dengan Masjid, sehingga rumah ibadah menjadi tempat yang asing bagi mereka.
2. Nabi Ibrahim meninggalkan keluarganya di lembah yang kering, tandus, tidak ada tanaman dan tumbuhan. Sepantasnya yang pertama dia pinta kepada Allah adalah makanan, minuman dan apa saja yang dapat menopang kehidupan mereka. Namun hal itu tidak dia lakukan. Justru yang beliau pinta dalam doanya adalah “agar mereka mendirikan shalat”. Ini adalah permohonan yang berorientasi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sebuah permohonan yang tidak populer dan jarang dikumandangkan oleh orang tua dan kaum pendidik.Visi dan misi dunia pendidikan banyak yang lebih dominan pada material. Lebih menitikberatkan  kepada kecerdasan intelektual tapi mengabaikan kecerdasan spritiual. Shalat yang merupakan cara membina keharmonisan hubungan kepada Allah akan membuahkan kesuksesan, keberhasilan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Keberhasilan Nabi Ibrahim mendidik keluarganya menjadi orang-orang yang bertakwa terlihat dari pernyataan istrinya Hajar saat mengejar suaminya dengan memanggilnya berulangkali,“Wahai suamiku, apakah engkau akan pergi meninggalkan kami di lembah yang tidak ada penghuninya dan tidak ada sesuatu apa pun?” Ibrahim tidak menjawab. Kemudian Hajar bertanya, “Apakah Allah yang menyuruhmu melakukan ini?” Ibrahim menjawab,“Benar.” Dan Hajar berkata kembali, “Kalau demikian, pasti Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.” Ungkapan seperti itu hanya bisa diucapkan oleh orang yang dihatinya sudah tertanam iman yang kokoh kepada Allah.
3. Permohonan  Nabi Ibrahim berikutnya adalah “jadikanlah hati manusia cenderung kepada mereka”. Nabi Ibrahim berharap agar keluarganya menjadi orang-orang yang dicintai oleh masyarakat. Dan seseorang akan dicintai karena kemuliaan akhlaknya. Inilah indikasi keberhasilan metode pendidikan, yaitu ketika mampu mendidik anak-anak yang berakhlak mulia.
Semakin lama seseorang belajar sejatinya semakin baik akhlaknya. Semakin tinggi gelar seseorang idealnya semakin bermoral hidupnya. Sayangnya, kenyataan yang ada tidak demikian. Banyak mereka yang bergelar tinggi justru tidak bermoral, mengambil uang negara (korupsi) dan melakukan banyak kezaliman. Begitu pentingnya akhlak yang mulia ini, sehingga Nabi Muhammad SAW, menyatakan bahwa salah satu misi kedatangannya adalah untuk memperbaiki akhlak manusia (demikian makna hadits Nabi).
4. Nabi Ibrahim menutup doanya dengan permohonan rezeki material, “dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan.” Secara logika tentunya yang pertama dipinta Nabi Ibrahim harusnya persediaan makanan, mengingat keberadaan keluarganya di lembah yang kering dan tandus. Namun, realitanya permohonan ini menempati urutan terakhir.
Untuk apa rezeki material itu? Apakah hanya untuk sekedar dinikmati? Apakah supaya disebut sebagai orang kaya? Sekali-kali, tidak! Melainkan agar mereka menjadi orang-orang yang bersyukur. Sebab, tidak semua orang yang kaya pandai bersyukur, tetapi orang yang bersyukur akan ditambah Allah nikmat untuknya.
Saudaraku............................!
Dalam rangka memasuki bulan Dzulhijjah 1433 H tahun ini, mari kita kembali mendalami nilai-nilai kehidupan dalam membina keluarga seperti yang telah dicontohkan Nabi Ibrahim, dengan harapan, keluarga kita merupakan keluarga yang mendapat keridhaan Allah SWT.
امـِـيْــنَ يَـا رَبَّ الـْعـَالـَمِـيْـنَ

Tidak ada komentar: