Senin, 31 Januari 2011

Pengaruh Jejaring Sosial terhadap Pergolakan Politik

Adanya gelombang demonstrasi yang terjadi di Mesir tak lepas dari peran situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Untuk itu, pihak Mesir telah memutus akses internet untuk menanggulangi demonstrasi tersebut. Pemutusan akses internet itu sendiri dilakukan sejak Kamis, 27 Januari 2011.
Tampaknya tindakan preventif itu tidak berhasil, karena demonstrasi massal kembali pecah secara serentak di penjuru Mesir, Jumat 28 Januari 2011, untuk menuntut rezim Hosni Mubarak mundur.
Bagi kalangan pengamat, langkah pemerintah Mesir memutus akses internet menandakan bahwa laman-laman sosial media telah berperan penting dalam menciptakan pergolakan massal. Maka, bagi rezim Mubarak, jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter harus diblokir, bahkan semua akses internet jangan sampai tetap beredar.
Menurut kolumnis Computerworld, Jaikumar VijayanRezim, Mubarak tidak ingin mengulang kejadian di Tunisia sekaligus ingin mengadopsi langkah-langkah China dan Iran dalam membendung gerakan populer yang dibantu oleh media-media sosial di internet.
Selama ini. para aktivis dan kubu oposisi bisa dengan mudah memobilisasi massa dan melakukan koordinasi gerakan unjuk rasa melalui akun di Facebook dan Twitter. Mereka juga bisa menjadi media alternatif dengan menayangkan video-video bentrokan yang segera tersebar ke seluruh dunia melalui laman YouTube dan blog.
Data dari laman pemantau media sosial, Social Bakers, menunjukkan bertambahnya jumlah pengguna Facebook di Mesir. Enam bulan lalu, jumlah pengguna jejaring sosial itu tidak sampai 3,2 juta. Namun, hingga pekan lalu, pengguna Facebook di Negeri Piramid ini berjumlah lebih dari lima juta orang. Sekitar 85 persen pengguna masuk dalam angkatan usia produktif, yaitu 18 hingga 44 tahun.
Berdasarkan data tersebut, tidak heran bila jejaring sosial seperti Facebook menjadi alat perjuangan para aktivis untuk berkoordinasi dan memobilisasi massa. Grup-grup di Facebook pun bermunculan. Walau menonjolkan tema-tema yang berbeda – dari kesulitan ekonomi hingga kekerasan aparat – tujuan grup-grup itu sama, yaitu bersatu menggulingkan pemerintahan Mubarak melalui gerakan massa.
Harian The Guardian mencatat, salah satu grup di Facebook yang populer adalah “We are all Khaled Said.” Grup itu mengadopsi nama seorang pemuda di Kota Alexandria yang dipukul hingga mati oleh polisi tahun lalu.
Grup online itu membawa pesan solidaritas melawan aparat keamanan yang semena-mena atas kaum muda. Dengan cepat, grup itu diakses oleh ratusan ribu pengguna Facebook di Mesir.
Kaum oposisi tradisional pun akhirnya ikut pola kaum muda dalam menyampaikan pesan ke banyak orang melalui media sosial. Itulah yang dilakukan Mohamed El Baradei, salah seorang tokoh oposisi.
Peraih Nobel Perdamaian 2005 ini memanfaatkan Twitter untuk menyampaikan pesan-pesan politiknya. “Dukung penuh seruan untuk demonstrasi damai melawan represi,” demikian kicau ElBaradei di Twitter, seperti yang dipantau majalah Newsweek.
Kedatangan ElBaradei ke Kairo untuk mendukung demonstrasi pada 28 Januari itu disebarluaskan melalui internet.
Perkembangan pesat jumlah pengguna media sosial di Mesir itulah yang membuat rezim Mubarak memutuskan melakukan tindakan frontal, yaitu memutus semua akses internet.
Richard Stiennon, pengamat dari IT-Harvest, menilai bahwa upaya pemerintah Mesir itu menunjukkan bahwa stabilitas pemerintahan, pengambilan kebijakan, bahkan pemilihan umum bisa dipengaruhi oleh akses yang bebas dan terbuka atas informasi dan publik.
“Pemerintah punya kemampuan untuk menggunakan teknologi dalam memblokir semua akses ke layanan-layanan tertentu. Masalahnya, sampai seberapa lama tindakan itu bisa dilakukan,” kata Stiennon seperti dikutip laman Computerworld.
Menurut dia, pihak berwenang harus memutus semua akses internet secara serentak di semua wilayah untuk mencegah massa berkoordinasi satu sama lain.
Pemblokiran itu sukses dilakukan oleh Iran ketika menghadapi gelombang demonstrasi massal pada 2009. Saat itu kubu oposisi sukses menghimpun massa melalui berbagai pesan di Twitter dan Facebook untuk menentang hasil pemilu, yang mereka anggap sarat kecurangan sehingga memenangkan kembali Presiden Mahmoud Ahmadinejad.
Namun, Iran saat itu bertindak sigap dengan memblokir semua akses internet untuk publik. Massa demonstran pun kesulitan berkoordinasi di berbagai kota dan akhirnya gerakan anti Ahmadinejad berhasil ditangkal.
China pun menerapkan kontrol yang ketat atas penggunaan internet. Bahkan, pengguna internet di China tidak bisa mengakses jejaring sosial yang populer seperti Facebook, Twitter, dan Youtube. Ini berkat upaya serius pemerintah China dalam mengendalikan teknologi informasi di negeri mereka dengan mengerahkan dana yang besar dan kampanye yang terus-menerus.
Namun, China dan Iran berbeda dengan Mesir. Kedua negara itu bisa melakukan kontrol internet yang ketat karena memiliki infrastruktur dan keuangan yang memadai. Sebaliknya, Mesir tengah mengalami krisis ekonomi. Harga-harga kebutuhan pokok naik, begitu pula tingkat pengangguran.
Memutus jaringan internet di hampir penjuru Mesir selama berhari-hari bisa turut memperburuk situasi ekonomi di negara itu. Di hampir semua negara, teknologi informasi seperti internet telah menjadi elemen penting untuk menggerakkan perekonomian.
“Cuma masalah waktu sebelum internet kembali berfungsi di Mesir,” kata Sherif Mansour, pengamat dari Freedom Watch, seperti dikutip Wired.com. “Pemerintah pun butuh internet untuk menggerakkan ekonomi, investasi, dan beroperasi,” lanjut Mansour. (Vivanews.com)
http://beritaterbaru.net/facebook-twitter-jadi-musuh-baru-mesir.php

Tidak ada komentar: